25 Februari 2010

Jangan Renggut Hak Sehat Si Miskin

Agnes Rita Sulistyawati dan Neli Triana

Ungkapan satiris bahwa orang miskin dilarang sakit bukanlah kata-kata kosong. Apabila tak ada uang, sakit sungguh mencekik leher. Pasien dan keluarganya sama-sama menderita. Bolak-balik dari rumah ke rumah sakit terasa berat diongkos. Belumlagi proses pengobatan yang kerap tertunda lantaran ketiadaan biaya. Aura (7 bulan), misalnya, tertunda empat bulan sebelum diberangkatkan dari kampungnya di Desa Pangkal Bulu, Kecamatan Payung, Provinsi Bangka Belitung, ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta. Bayi pasangan Otan (32) dan Surya (28) itu diketahui mengalami hidrosefalus (pembesaran kepala) sejak berumur tiga bulan.

Keterlambatan pengobatan mengakibatkan cairan makin menumpuk, membuat kepala Aura terus membesar. Dengan kondisinya itu, Aura kini susah bersuara, apalagi menangis. Mereka bertolak ke Jakarta berbekal uang Rp 5 juta hasil pinjaman dari sanak keluarga dan selembar kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Selain biaya berobat bagi Aura, keluarga buruh tani ini juga harus mengeluarkan biaya perjalanan dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari di Jakarta. Ongkos hidup terasa makin berat karena mereka tak tertampung di rumah singgah RSCM. Biaya tinggal di rumah singgah ini ringan, hanya Rp15.000 per hari. Namun, dengan kapasitas 84 tempat tidur, pengantrenya bisa ratusan orang.”Semula kami berencana tinggal di masjid RSCM. Namun, karena kasihan dengan bayi, kami memilih mencari rumah kos,” kata Otan.

Masalah keuangan juga menyebabkan orang tua bayi hidrosefalus lainnya,Mohammad Toriq (2 bulan), memilih bermalam di Masjid Asyifa, RSCM. Toriq akhirnya mendapatkan perhatian pihak rumah sakit setelah media massa memberitakannya. Sementara Aura, atau Toriq lain bersama keluarganya, tetap harus berupaya keras mengelola sedikit uang untuk mencari pondokan dan makan. Rumah kos murah bagi pasien rawat jalan ataupun keluarga yang menunggui memang menjamur di sekitar rumah sakit. Sejumlah keluarga disekitar RSCM menawarkan kamar di rumah mereka. Aura mendapatkan kamar berukuran 3 meter x 2 meter di rumah milik Ibu Ika, Jalan Kimia Ujung,dengan tarif Rp 600.000 per bulan.

Di beberapa rumah kos ada fasilitas dapur sehingga keluarga pasien bisa memasak dan mengirit uang makan. Di kos-kosan mungil itu berjejalan pasien dan keluarganya. Kebersihan—apalagi kondisi steril yang dibutuhkan pasien sembari menunggu jadwal operasi ataupun pemeriksaan rutin di rumah sakit—sering terabaikan. Tidak jarang sakit pasien justru makin parah dan keluarga yang menunggu pun turut sakit.”Saya kena flu dan batuk sudah tiga hari. Paling cuma minum obat dari warung. Yang penting tetap bisa nungguin anak saya ini,” kata Nining(51) asal Lampung yang mendampingi putrinya, Raudah (34), penderita tumor yang tengah berobat jalan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Mereka berdua kini menghuni rumah kos Uti (46) dengan membayar Rp25.000 per hari. ”Memang menambah uang masuk, tetapi banyak orang yang tidak punya uanghanya membayar ala kadarnya. Karena kasihan, ya, tetap ditampung,”kata Uti, pemilik rumah kos di belakang RS Fatmawati.

Tak tertangani Duka pasien miskin pernah mengemuka pada tahun 2008. Saat itu, sekitar30 pasien dan keluarga pasien miskin di RSCM memilih tinggal di salah satu bangunan kosong di rumah sakit tersebut. Saat bangunan direnovasi, mereka pun terusir.Terlunta-lunta, puluhan orang itu ditampung di lantai dasar Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tepat di seberangRSCM. Pasien penderita tumor hingga kakek-kakek penderita gagal ginjal yang harus selalu menggunakan kateter terpaksa tidur di lantai beralastikar. Akhirnya, beberapa dermawan menampung mereka di sebuah rumah layak di Menteng.

Angkutan menuju dan pulang ke RSCM untuk pemeriksaan rutinturut disediakan. Akan tetapi, harus disadari, hanya kasus 30 orang yang telantar itu saja yang terselesaikan. Sementara kasus serupa masih ratusan, bahkan ribuan, di luar sana. Sepanjang 2008 tersebut, LBH Jakarta, LBH Kesehatan, dan beberapa organisasi kemasyarakatan lain beberapa kali mendesak pemerintah agar memperbaiki pelayanan kesehatan bagi si miskin. Namun, tuntutan itu tak pernah benar-benar dipenuhi. Hingga kini! Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), misalnya, menerima laporan dan mengadakan investigasi sejak Juni 2009 hingga awal tahun 2010. Hasilnya, ada beberapa kasus penggelembungan biaya perawatan warga miskin. Ada pula kasus pembayaran ilegal untuk mendapatkan kamar perawatan di rumah sakit pemerintah tertentu, biaya kursi roda, membeli alat kesehatan atau obat, laboratorium, dan uang muka perawatan.

Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan mempertanyakan kapan pemerintah menindak tegas segala bentuk penyelewengan pelayanan kesehatan bagi warga miskin serta memperbaiki sistem yang ada agar nasib mereka tak lagi terabaikan. Pembiaran terhadap buruknya pelayanan kesehatan bagi si miskin sama artinya dengan merenggut hak hidup mereka.

20 Februari 2010

Bahaya Rokok Tangan Ketiga

Kompas 19/02/2010

Setiap tahun sepertiga orang dewasa dan 40% anak-anak diseluruh dunia terpapar racun mematikan yg terkandung dalam asap rokok dan residunya menempel pada pakaian, dinding, dan permukaan benda.
Kebijakan menempatkan para perokok disebuah ruangan terpisah dari orang lain ternyata belum cukup menghalau bahaya asap rokok. Sebuah riset yang dialkukan ilmuan di Lawrence Berkeley National Laboratory. California Amerika Serikat, menunjukan bahwa residu asap tembakau yang melekat pada pakaian, rambut, kulit, dinding, serta permukaan barang lainnya dapat berekasi dengan zat kimia yang bisas terdapat pada uadara ruangan. Reaksi itu menghasilkan karsinogen atau zat pemicu kanker.
"Temuan baru ini mengungkapkan bahwa polutan yang umum ditemukan dalam ruangan tertututp dapat berekasi dengan nikotin dan membentuk karsinogen di dlm rumah kita." Kata Lara Gundel. Salah satu peneliti studi, yang di Publikasikan dalam Jurnal Procedings of the National Academiy of Sciences, Pekan lalau.
Anak-anak adalah korban paling rentan terhadap paparan rokok tangan ke tiga itu. Demikian dikatakan Hugo Destaillast, spesialis polusi indoor di Lawrence Barkeley Laboratory. Dalam studi itu, mereka menemukan sejumlah zat kimia dalam truk seorang perokok yang menghisap sedikitnya setengah bungkus sehari, termasuk zat karsinogen yang disebut NNK. Zat karsinogen itu dihasilkan ketika nokotin dari asap tembakau berekasi dengan asam nitrit di udara.
Untuk menguji teori itu. Gundel dan Destaillats membubuhkan nikotin atau asap tembakau keselembar ketas dan mengeksposnya dengan asam nitrit. Baik nikotin maupun asap menghasilkan zat kimia yang sama dengan yang ditemukan dalam kabin kendaraan perokok tersebut. "Nikotin dpt bertahan dlam permukaan ruang tertutup selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan beberapa bulan." Kata Dastaillast. Anak-anak yang kerap bermain dilantai dapat menyerap senyawa beracun itu melalui kulitnya.
Potensi gangguan kesehatan yang disebabkan "rokok tangan ketiga" itu mulai menarik perhatian para ilmuan sejak beberapa tahun yang lalu. Istilah "rokok tangan ketiga" merujuk pada lapisan tipis substansi beracun dari asap tembakau yang menempel di permukaan benda diseluruh ruangan lama setelah rokok dimatikan.
Para ilmuan yang menemukan asam nitrit (HNO2), polutan udara dalam ruangan terbentuk oleh peralatan rumah tangga yang menggunakan gas, mesin kendaraan, dan asap tembakau, berekasi dengan nikotinyang melekat dipermukaan. "Kami ingin membuat orang menyadari potensi bahaya rorkok tangan ketiga yang belum diketahui sebelumnya," kata Gandel, yang bekerja diLaboratorium Departemen Lingkungan dalam ruang tertutup.
Istilah rokok tangan ketiga atau thirdhand smoke itu pertama kali muncul dalam sebuah studi di jurnal Pediatrics pada tahun 2009. Studi ini menemukan bhawa 65% nonperokok menganggap bahwa resitu tembakau yang ditemukan pada furnitur, tirai, karpet, dan debu, danbahkan pada kulit serta pakaian, dapat membahayakan anak dan bayi. Hanya 43% dari perokok yang menganggap residu dari asap yang mereka hasilkan dapat menyebabkan resiko kesehatan.
Studi tersebut difokuskan pada riset sebelumnya yang menganalisa potensi bahaya pada anak dan balita yang mengisap atau menghirup salah satu dari 250 subsatansi beracun yang ditemukan dalam asap tembakau, semisal timbal. Para ilmuan juga menemukan bahwa banyak anak-anak yang terditeksi memiliki kadar cotinine-sejenis zat kimia yang terbentuk olah paparan nikotin dalam darahnya.
Bahaya rokok tangan ketiga tak sampai disitu. Para ilmuan laboratorium Berekeley juga menemukan bahwa, ketika asam nitrat di udara indoor bereaksi dengan nikotin, terciptalah nitrosamin spesifik tembakau (TSNAs). Tembakau yang belum terbakar dan asap tembakau juga mengandung TSNAs. Pada 1989. zat itu didaftarkan sebagai salah satu karsinogen yang ditemukan dalam tembakau.
Lewat eksperimen terbaru yang dilakukan Gundel dan Timnya, mereka menemukan beberapa banyak TSNAs yang dihasilkan ketika nikotin bereaksi dengan asam sitrat. Setelah membubuhi permukaan berbagai benda dengan asap tembakau, para ilmuan laboratorium Berekeley menemukan bahwa kadar TSNAs meningkat 10 kalilipat setelah pemaparan asam sitrat.
Potensi terpaparnya RSNAs itu tidak bisa dihindari dengan meminta orang merokok diluar ruangan, karena nikotin dari asap rokok melekat pada pakaian, kulit, sehingga ikut masuk kembali keruangan. Membuka jendela lebar-lebar atau menggunakan exhaust fan juga tidak banyak membantu, mengingat nikotin adalah molekul lengket yang mudah melekat ke segala permukaan.
Sebagai langkah pencegahan, Gundel memberi saran agar mengganti perabotan dan tiai yang terpapar nikotin. Dia juga mendukung disediakannya ruang-ruang publik yang 100% bebas rokok, termasuk kendaraan umum. Dia menambahkan, merokok di dalam kendaraan juga meninggalkan nikotin yang melekat diseluruh permukaan.
Para ilmuan Berekeley berencana melanjutkan studi mereka tentang rokok tangan ketiga yang disponsori oleh Program Riset Penyakit terkait Rokok University of California itu. Mereka akan meneliti berapa lama TSNAs dapat melekat dipermukaan berbagai benda, serta mencari biomarker yang dapat diandalkan untuk mempelajari penyerapan TSNAs dalam tubuh

26 Januari 2010

Dokter dan Perawat Masih Gugup dengan Telemedicine

Nurul Ulfah

Teknologi telemedicine memungkinkan dokter dan pasien terhubung dengan satelit, video conference dan transfer data melalui ponsel untuk menangani penyakit. Tapi sebagian besar dokter dan perawat di negara maju memilih menghindari telemedicine. Studi yang dilakukan peneliti dari University of Texas Medical School, Houston menemukan hal unik bahwa banyak dokter yang lebih memilih tidak dipilih pasien dalam melakukan perawatan telemedicine.
Hasil tersebut berdasarkan penelitian dari efek penggunaan telemedicine pada pasien di unit perawatan rumah sakit. Peneliti memberikan remote ke pasien untuk memilih dokter atau spesialis yang akan menangani mereka. Namun banyak dokter yang lebih memilih untuk
tidak dipilih pasiennya."Banyak yang khawatir, ragu, takut dan skeptis (ragu-ragu) tidak bisa
melakukan teknik perawatan dengan teknologi tersebut," ujar Dr Eric J Thomas, pemimpin studi dari University of Texas Memorial Hermann Center for Health Care Quality and Safety seperti dilansir New York Times, Senin (11/1/2010).

Tak hanya dokter yang ketakutan dengan adanya teknologi telemedicine tapi juga para suster atau perawat rumah sakit. "Beberapa suster merasa seperti ada seseorang yang selalu mengawasi gerak geriknya setiap waktu. Mereka juga menjadi lebih frustasi ketika melakukan
kesalahan penanganan pada pasien," kata Dr Eric. Meski teknologi telemedicine bisa meningkatkan tingkat keselamatan pasien terutama mereka yang berada di ruang ICU, namun banyak kalangan yang belum tentu bisa menerimanya. "Mungkin kita tidak akan pernah memanfaatkan potensi telemedicine secara optimal selama para dokter dan tenaga medis belum punya cukup kemampuan dan penerimaan terhadap teknologi tersebut. Perlu infrastruktur yang lebih baik untuk menerapkan teknologi jika ingin tetap digunakan di masa yang akan datang, "kata Eric.

Telemedicine adalah sistem yang sangat berpotensi meningkatkan kualitas kesehatan dengan cara mengontrol dan memberi konsultasi pada pasien tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dengan teknologi tersebut, dokter maupun petugas kesehatan dapat mengontrol dan
memonitor pasien selama 24 jam.

25 Januari 2010

PROFESI PERAWAT DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

Ditulus pada acara Muskab PPNI Kabupaten Cirebon
Lebih dari dua dekade profesi perawat Indonesia diperjuang untuk diakui sebagai profisional oleh Masyarakat. Pengakuan terhadap konstribusi dibidang pelayanan diakui amat besar oleh Masyarakat, demikian pula Pemerintah mengakui profesi Perawat seperti dalam UU Kesehatan No 36/2009, walaupun secara eksplisit tidak ditegaskan dengan sebutan Perawat, tapi dalam PP No. 32/1996 tentang tenaga kesehatan. Yang dimaksud Tenaga kesehatan salah satunya adalah Perawat, bahkan bila dibandingkan dengan Bidan tidak mempunyai nomenklatur, rumpun dari Perawat.

Sayangnya pengakuan tersebut dalam kontek tugas Perawat berbanding terbalik. Kewenangan perawat di Masyarakat dan Klinis seolah menjadi replacments dari profesi lain. Hasil Penelitian di dua Puskesmas kota dan desa, menunjukan 92% perawat melakukan diagnosis medis dan 93% membuat resep. Demikian juga dengan hasil penelitian lainnya perawat banyak melakukan tindakan medis, sedang pendelegasian secara tertulis disini tidak ada. ''Hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa besar peran perawat dalam pelayanan Kesehatan, namun tidak diakui.”

Perjuangan teman-teman Perawat dalam mensukseskan RUU Keperawatan memberikan angin segar bagi perkembangan profesi Perawat di Indonesia. Bahkan disebutkan dalam sebuah media masa Nasional bahwa RUU Keperawatan menjadi Prioritas DPR RI untuk di undangkan pada tahun 2010. Bisa dibayangkan apabila RUU keperawatan di undangkan pada tahun 2010 ini akan merubah tatanan yang sudah ada, bukan hanya dalam pelayanan kesehatan/ keperawatan saja tapi juga perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan keperawatan.

Bagaimana peran PPNI di daerah ? sangat sulit dibayangkan apabila UU Keperawatan diberlakukan sedang daerah sebagai porposus core dalam pelayanan keperawatan dan pendidikan tidak melakukan antisipasi dan perubahan-perubahan. Bahkan daerah menjadi sebuah kendala/ penghambat besar pelaksanaan kebijakan tersebut. Apalagi PPNI pada tingkat Profinsi atau Pusat gagal dalam mensosialisasikan persiapan pelaksanaan UU Keperawatan. Maka dapat di ramalkan akan terjadi stunami kedua setelah pemberlakukan UU No. 29/2004 tentang praktik Kedokteran.

Potensi Perawat di Kabupaten Cirebon sangat besar, terdapat tenaga perawat di Puskesmas untuk memenuhi kebutuhan kesehatan Masyarakat di wilayah Cirebon (2006) 623 perawat, dan 553 perawat Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan, atau sekitar 48,64% dari seluruh jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Cirebon. Sedangkan calon tenaga perawat dari wilayah III sebanyak 800 orang/ tahun. Dan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk 55,56/ 100.000 penduduk (perawat & bidan), badingkan dengan perbandingan Nasional sekitar 44/ 100.000 penduduk. Potensi yang besar tersebut dalam jumlah sangat minim konstribusinya dalam proses pengambilan keputusan pelayanan kesehatan.

Perjuangan perawat dalam pengakuan profesi tidak bisa dilakukan oleh perorangan ataupun hanya pada tingkat Pusat dan propinsi, bahkan sebagai kunci perjuangan mestinya pada tatanan bawah (kab/kota). Untuk mendapatkan pengakuan masyarakat perawat tidak bisa berpangku tangan atau menunggu belas kasihan pemerintah, tapi ia harus berjuang untuk menghasilkan karya perawatan yang dapat diterima oleh berbagai lapisan. Setiap orang yang mengabdikan dirinya untuk dunia keperawatan harus memiliki komitmen dalam perkembangan profesi, oleh karena itu pada tataran pelayanan kesehatan baik di Puskesmas atau pun Rumah sakit serta pelayanan keperawatan lain tidak bisa bekerja secara profesional apabila dalam proses pendidikannya tidak dimulai untuk bersikap profesional. Harus bersinergi dunia pendidikan dan dunia kerja dalam mengembangkan profesi.

Bagaimana dengan kesejahteraan Perawat ? sangat ironis dan diskriminatif. Untuk mendapatkan honor/ upah jasa pekerjaan banyak yang dibayar tidak layak apalagi mendapatkan jasa perawatan. Belum lagi dengan kebijakan pemerintah (Depkes) Kepmenkes 1239/2001 perawat tidak dijinkan memasang papan praktik. Dan lebih heboh lagi ketika awal di berlakukannya UU No. 29, terkesan membersihkan tenaga perawat yang praktik di rumah, padahal keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Supriadi E. (2004) “Perawat tidak akan melakukan praktik medis bila tenaga medis didaerah tersebut tersedia”

Terhadap fenomena diatas DPD PPNI Kabupaten Cirebon harus mampu menawarkan solusi untuk mengentaskan profesionalisme sehingga diakui oleh masyarakat secara utuh. Peningkatan jenjang pendidikan anggota agar dapat di fasilitasi sehingga akan meningkat secara kualitas. Advokasi terhadap anggota terus ditingkatkan untuk mendapatkan kepercayaan dari anggota sebagai wadah yang dapat melindungi. Meningkatkan tingkat kesejahteran anggota dengan cara ekonomi kerakyatan menjadikan terobosan membantu anggota yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan dapat ditingkatkan, mendukung karier anggota dalam peranannya sebagai penentu kebijakan pembangunan daerah sehingga memiliki tawaran yang kuat dalam membangun di bidang kesehatan. Dan lebih penting lagi adalah memiliki informasi tentang anggota untuk mengukur kekuatan organisasi sehingga perlu merangkul seluruh anggota untuk mendapatkan dukungannya. Karena kekuatan apapun tanpa dukungan dari angggota merupakan hal yang sangat mustahil dalam berjuang membangun dan menegembangan organisasi profesi.

Selamat berjuang dan bermusyawarah.