Agnes Rita Sulistyawati dan Neli Triana
Ungkapan satiris bahwa orang miskin dilarang sakit bukanlah kata-kata kosong. Apabila tak ada uang, sakit sungguh mencekik leher. Pasien dan keluarganya sama-sama menderita. Bolak-balik dari rumah ke rumah sakit terasa berat diongkos. Belumlagi proses pengobatan yang kerap tertunda lantaran ketiadaan biaya. Aura (7 bulan), misalnya, tertunda empat bulan sebelum diberangkatkan dari kampungnya di Desa Pangkal Bulu, Kecamatan Payung, Provinsi Bangka Belitung, ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta. Bayi pasangan Otan (32) dan Surya (28) itu diketahui mengalami hidrosefalus (pembesaran kepala) sejak berumur tiga bulan.
Keterlambatan pengobatan mengakibatkan cairan makin menumpuk, membuat kepala Aura terus membesar. Dengan kondisinya itu, Aura kini susah bersuara, apalagi menangis. Mereka bertolak ke Jakarta berbekal uang Rp 5 juta hasil pinjaman dari sanak keluarga dan selembar kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Selain biaya berobat bagi Aura, keluarga buruh tani ini juga harus mengeluarkan biaya perjalanan dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari di Jakarta. Ongkos hidup terasa makin berat karena mereka tak tertampung di rumah singgah RSCM. Biaya tinggal di rumah singgah ini ringan, hanya Rp15.000 per hari. Namun, dengan kapasitas 84 tempat tidur, pengantrenya bisa ratusan orang.”Semula kami berencana tinggal di masjid RSCM. Namun, karena kasihan dengan bayi, kami memilih mencari rumah kos,” kata Otan.
Masalah keuangan juga menyebabkan orang tua bayi hidrosefalus lainnya,Mohammad Toriq (2 bulan), memilih bermalam di Masjid Asyifa, RSCM. Toriq akhirnya mendapatkan perhatian pihak rumah sakit setelah media massa memberitakannya. Sementara Aura, atau Toriq lain bersama keluarganya, tetap harus berupaya keras mengelola sedikit uang untuk mencari pondokan dan makan. Rumah kos murah bagi pasien rawat jalan ataupun keluarga yang menunggui memang menjamur di sekitar rumah sakit. Sejumlah keluarga disekitar RSCM menawarkan kamar di rumah mereka. Aura mendapatkan kamar berukuran 3 meter x 2 meter di rumah milik Ibu Ika, Jalan Kimia Ujung,dengan tarif Rp 600.000 per bulan.
Di beberapa rumah kos ada fasilitas dapur sehingga keluarga pasien bisa memasak dan mengirit uang makan. Di kos-kosan mungil itu berjejalan pasien dan keluarganya. Kebersihan—apalagi kondisi steril yang dibutuhkan pasien sembari menunggu jadwal operasi ataupun pemeriksaan rutin di rumah sakit—sering terabaikan. Tidak jarang sakit pasien justru makin parah dan keluarga yang menunggu pun turut sakit.”Saya kena flu dan batuk sudah tiga hari. Paling cuma minum obat dari warung. Yang penting tetap bisa nungguin anak saya ini,” kata Nining(51) asal Lampung yang mendampingi putrinya, Raudah (34), penderita tumor yang tengah berobat jalan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Mereka berdua kini menghuni rumah kos Uti (46) dengan membayar Rp25.000 per hari. ”Memang menambah uang masuk, tetapi banyak orang yang tidak punya uanghanya membayar ala kadarnya. Karena kasihan, ya, tetap ditampung,”kata Uti, pemilik rumah kos di belakang RS Fatmawati.
Tak tertangani Duka pasien miskin pernah mengemuka pada tahun 2008. Saat itu, sekitar30 pasien dan keluarga pasien miskin di RSCM memilih tinggal di salah satu bangunan kosong di rumah sakit tersebut. Saat bangunan direnovasi, mereka pun terusir.Terlunta-lunta, puluhan orang itu ditampung di lantai dasar Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tepat di seberangRSCM. Pasien penderita tumor hingga kakek-kakek penderita gagal ginjal yang harus selalu menggunakan kateter terpaksa tidur di lantai beralastikar. Akhirnya, beberapa dermawan menampung mereka di sebuah rumah layak di Menteng.
Angkutan menuju dan pulang ke RSCM untuk pemeriksaan rutinturut disediakan. Akan tetapi, harus disadari, hanya kasus 30 orang yang telantar itu saja yang terselesaikan. Sementara kasus serupa masih ratusan, bahkan ribuan, di luar sana. Sepanjang 2008 tersebut, LBH Jakarta, LBH Kesehatan, dan beberapa organisasi kemasyarakatan lain beberapa kali mendesak pemerintah agar memperbaiki pelayanan kesehatan bagi si miskin. Namun, tuntutan itu tak pernah benar-benar dipenuhi. Hingga kini! Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), misalnya, menerima laporan dan mengadakan investigasi sejak Juni 2009 hingga awal tahun 2010. Hasilnya, ada beberapa kasus penggelembungan biaya perawatan warga miskin. Ada pula kasus pembayaran ilegal untuk mendapatkan kamar perawatan di rumah sakit pemerintah tertentu, biaya kursi roda, membeli alat kesehatan atau obat, laboratorium, dan uang muka perawatan.
Ketua Fakta Azas Tigor Nainggolan mempertanyakan kapan pemerintah menindak tegas segala bentuk penyelewengan pelayanan kesehatan bagi warga miskin serta memperbaiki sistem yang ada agar nasib mereka tak lagi terabaikan. Pembiaran terhadap buruknya pelayanan kesehatan bagi si miskin sama artinya dengan merenggut hak hidup mereka.
25 Februari 2010
20 Februari 2010
Bahaya Rokok Tangan Ketiga
Kompas 19/02/2010
Setiap tahun sepertiga orang dewasa dan 40% anak-anak diseluruh dunia terpapar racun mematikan yg terkandung dalam asap rokok dan residunya menempel pada pakaian, dinding, dan permukaan benda.
Kebijakan menempatkan para perokok disebuah ruangan terpisah dari orang lain ternyata belum cukup menghalau bahaya asap rokok. Sebuah riset yang dialkukan ilmuan di Lawrence Berkeley National Laboratory. California Amerika Serikat, menunjukan bahwa residu asap tembakau yang melekat pada pakaian, rambut, kulit, dinding, serta permukaan barang lainnya dapat berekasi dengan zat kimia yang bisas terdapat pada uadara ruangan. Reaksi itu menghasilkan karsinogen atau zat pemicu kanker.
"Temuan baru ini mengungkapkan bahwa polutan yang umum ditemukan dalam ruangan tertututp dapat berekasi dengan nikotin dan membentuk karsinogen di dlm rumah kita." Kata Lara Gundel. Salah satu peneliti studi, yang di Publikasikan dalam Jurnal Procedings of the National Academiy of Sciences, Pekan lalau.
Anak-anak adalah korban paling rentan terhadap paparan rokok tangan ke tiga itu. Demikian dikatakan Hugo Destaillast, spesialis polusi indoor di Lawrence Barkeley Laboratory. Dalam studi itu, mereka menemukan sejumlah zat kimia dalam truk seorang perokok yang menghisap sedikitnya setengah bungkus sehari, termasuk zat karsinogen yang disebut NNK. Zat karsinogen itu dihasilkan ketika nokotin dari asap tembakau berekasi dengan asam nitrit di udara.
Untuk menguji teori itu. Gundel dan Destaillats membubuhkan nikotin atau asap tembakau keselembar ketas dan mengeksposnya dengan asam nitrit. Baik nikotin maupun asap menghasilkan zat kimia yang sama dengan yang ditemukan dalam kabin kendaraan perokok tersebut. "Nikotin dpt bertahan dlam permukaan ruang tertutup selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan beberapa bulan." Kata Dastaillast. Anak-anak yang kerap bermain dilantai dapat menyerap senyawa beracun itu melalui kulitnya.
Potensi gangguan kesehatan yang disebabkan "rokok tangan ketiga" itu mulai menarik perhatian para ilmuan sejak beberapa tahun yang lalu. Istilah "rokok tangan ketiga" merujuk pada lapisan tipis substansi beracun dari asap tembakau yang menempel di permukaan benda diseluruh ruangan lama setelah rokok dimatikan.
Para ilmuan yang menemukan asam nitrit (HNO2), polutan udara dalam ruangan terbentuk oleh peralatan rumah tangga yang menggunakan gas, mesin kendaraan, dan asap tembakau, berekasi dengan nikotinyang melekat dipermukaan. "Kami ingin membuat orang menyadari potensi bahaya rorkok tangan ketiga yang belum diketahui sebelumnya," kata Gandel, yang bekerja diLaboratorium Departemen Lingkungan dalam ruang tertutup.
Istilah rokok tangan ketiga atau thirdhand smoke itu pertama kali muncul dalam sebuah studi di jurnal Pediatrics pada tahun 2009. Studi ini menemukan bhawa 65% nonperokok menganggap bahwa resitu tembakau yang ditemukan pada furnitur, tirai, karpet, dan debu, danbahkan pada kulit serta pakaian, dapat membahayakan anak dan bayi. Hanya 43% dari perokok yang menganggap residu dari asap yang mereka hasilkan dapat menyebabkan resiko kesehatan.
Studi tersebut difokuskan pada riset sebelumnya yang menganalisa potensi bahaya pada anak dan balita yang mengisap atau menghirup salah satu dari 250 subsatansi beracun yang ditemukan dalam asap tembakau, semisal timbal. Para ilmuan juga menemukan bahwa banyak anak-anak yang terditeksi memiliki kadar cotinine-sejenis zat kimia yang terbentuk olah paparan nikotin dalam darahnya.
Bahaya rokok tangan ketiga tak sampai disitu. Para ilmuan laboratorium Berekeley juga menemukan bahwa, ketika asam nitrat di udara indoor bereaksi dengan nikotin, terciptalah nitrosamin spesifik tembakau (TSNAs). Tembakau yang belum terbakar dan asap tembakau juga mengandung TSNAs. Pada 1989. zat itu didaftarkan sebagai salah satu karsinogen yang ditemukan dalam tembakau.
Lewat eksperimen terbaru yang dilakukan Gundel dan Timnya, mereka menemukan beberapa banyak TSNAs yang dihasilkan ketika nikotin bereaksi dengan asam sitrat. Setelah membubuhi permukaan berbagai benda dengan asap tembakau, para ilmuan laboratorium Berekeley menemukan bahwa kadar TSNAs meningkat 10 kalilipat setelah pemaparan asam sitrat.
Potensi terpaparnya RSNAs itu tidak bisa dihindari dengan meminta orang merokok diluar ruangan, karena nikotin dari asap rokok melekat pada pakaian, kulit, sehingga ikut masuk kembali keruangan. Membuka jendela lebar-lebar atau menggunakan exhaust fan juga tidak banyak membantu, mengingat nikotin adalah molekul lengket yang mudah melekat ke segala permukaan.
Sebagai langkah pencegahan, Gundel memberi saran agar mengganti perabotan dan tiai yang terpapar nikotin. Dia juga mendukung disediakannya ruang-ruang publik yang 100% bebas rokok, termasuk kendaraan umum. Dia menambahkan, merokok di dalam kendaraan juga meninggalkan nikotin yang melekat diseluruh permukaan.
Para ilmuan Berekeley berencana melanjutkan studi mereka tentang rokok tangan ketiga yang disponsori oleh Program Riset Penyakit terkait Rokok University of California itu. Mereka akan meneliti berapa lama TSNAs dapat melekat dipermukaan berbagai benda, serta mencari biomarker yang dapat diandalkan untuk mempelajari penyerapan TSNAs dalam tubuh
26 Januari 2010
Dokter dan Perawat Masih Gugup dengan Telemedicine
Nurul Ulfah
Teknologi telemedicine memungkinkan dokter dan pasien terhubung dengan satelit, video conference dan transfer data melalui ponsel untuk menangani penyakit. Tapi sebagian besar dokter dan perawat di negara maju memilih menghindari telemedicine. Studi yang dilakukan peneliti dari University of Texas Medical School, Houston menemukan hal unik bahwa banyak dokter yang lebih memilih tidak dipilih pasien dalam melakukan perawatan telemedicine.
Hasil tersebut berdasarkan penelitian dari efek penggunaan telemedicine pada pasien di unit perawatan rumah sakit. Peneliti memberikan remote ke pasien untuk memilih dokter atau spesialis yang akan menangani mereka. Namun banyak dokter yang lebih memilih untuk
tidak dipilih pasiennya."Banyak yang khawatir, ragu, takut dan skeptis (ragu-ragu) tidak bisa
melakukan teknik perawatan dengan teknologi tersebut," ujar Dr Eric J Thomas, pemimpin studi dari University of Texas Memorial Hermann Center for Health Care Quality and Safety seperti dilansir New York Times, Senin (11/1/2010).
Tak hanya dokter yang ketakutan dengan adanya teknologi telemedicine tapi juga para suster atau perawat rumah sakit. "Beberapa suster merasa seperti ada seseorang yang selalu mengawasi gerak geriknya setiap waktu. Mereka juga menjadi lebih frustasi ketika melakukan
kesalahan penanganan pada pasien," kata Dr Eric. Meski teknologi telemedicine bisa meningkatkan tingkat keselamatan pasien terutama mereka yang berada di ruang ICU, namun banyak kalangan yang belum tentu bisa menerimanya. "Mungkin kita tidak akan pernah memanfaatkan potensi telemedicine secara optimal selama para dokter dan tenaga medis belum punya cukup kemampuan dan penerimaan terhadap teknologi tersebut. Perlu infrastruktur yang lebih baik untuk menerapkan teknologi jika ingin tetap digunakan di masa yang akan datang, "kata Eric.
Telemedicine adalah sistem yang sangat berpotensi meningkatkan kualitas kesehatan dengan cara mengontrol dan memberi konsultasi pada pasien tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dengan teknologi tersebut, dokter maupun petugas kesehatan dapat mengontrol dan
memonitor pasien selama 24 jam.
Teknologi telemedicine memungkinkan dokter dan pasien terhubung dengan satelit, video conference dan transfer data melalui ponsel untuk menangani penyakit. Tapi sebagian besar dokter dan perawat di negara maju memilih menghindari telemedicine. Studi yang dilakukan peneliti dari University of Texas Medical School, Houston menemukan hal unik bahwa banyak dokter yang lebih memilih tidak dipilih pasien dalam melakukan perawatan telemedicine.
Hasil tersebut berdasarkan penelitian dari efek penggunaan telemedicine pada pasien di unit perawatan rumah sakit. Peneliti memberikan remote ke pasien untuk memilih dokter atau spesialis yang akan menangani mereka. Namun banyak dokter yang lebih memilih untuk
tidak dipilih pasiennya."Banyak yang khawatir, ragu, takut dan skeptis (ragu-ragu) tidak bisa
melakukan teknik perawatan dengan teknologi tersebut," ujar Dr Eric J Thomas, pemimpin studi dari University of Texas Memorial Hermann Center for Health Care Quality and Safety seperti dilansir New York Times, Senin (11/1/2010).
Tak hanya dokter yang ketakutan dengan adanya teknologi telemedicine tapi juga para suster atau perawat rumah sakit. "Beberapa suster merasa seperti ada seseorang yang selalu mengawasi gerak geriknya setiap waktu. Mereka juga menjadi lebih frustasi ketika melakukan
kesalahan penanganan pada pasien," kata Dr Eric. Meski teknologi telemedicine bisa meningkatkan tingkat keselamatan pasien terutama mereka yang berada di ruang ICU, namun banyak kalangan yang belum tentu bisa menerimanya. "Mungkin kita tidak akan pernah memanfaatkan potensi telemedicine secara optimal selama para dokter dan tenaga medis belum punya cukup kemampuan dan penerimaan terhadap teknologi tersebut. Perlu infrastruktur yang lebih baik untuk menerapkan teknologi jika ingin tetap digunakan di masa yang akan datang, "kata Eric.
Telemedicine adalah sistem yang sangat berpotensi meningkatkan kualitas kesehatan dengan cara mengontrol dan memberi konsultasi pada pasien tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dengan teknologi tersebut, dokter maupun petugas kesehatan dapat mengontrol dan
memonitor pasien selama 24 jam.
25 Januari 2010
PROFESI PERAWAT DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
Ditulus pada acara Muskab PPNI Kabupaten Cirebon
Lebih dari dua dekade profesi perawat Indonesia diperjuang untuk diakui sebagai profisional oleh Masyarakat. Pengakuan terhadap konstribusi dibidang pelayanan diakui amat besar oleh Masyarakat, demikian pula Pemerintah mengakui profesi Perawat seperti dalam UU Kesehatan No 36/2009, walaupun secara eksplisit tidak ditegaskan dengan sebutan Perawat, tapi dalam PP No. 32/1996 tentang tenaga kesehatan. Yang dimaksud Tenaga kesehatan salah satunya adalah Perawat, bahkan bila dibandingkan dengan Bidan tidak mempunyai nomenklatur, rumpun dari Perawat.
Sayangnya pengakuan tersebut dalam kontek tugas Perawat berbanding terbalik. Kewenangan perawat di Masyarakat dan Klinis seolah menjadi replacments dari profesi lain. Hasil Penelitian di dua Puskesmas kota dan desa, menunjukan 92% perawat melakukan diagnosis medis dan 93% membuat resep. Demikian juga dengan hasil penelitian lainnya perawat banyak melakukan tindakan medis, sedang pendelegasian secara tertulis disini tidak ada. ''Hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa besar peran perawat dalam pelayanan Kesehatan, namun tidak diakui.”
Perjuangan teman-teman Perawat dalam mensukseskan RUU Keperawatan memberikan angin segar bagi perkembangan profesi Perawat di Indonesia. Bahkan disebutkan dalam sebuah media masa Nasional bahwa RUU Keperawatan menjadi Prioritas DPR RI untuk di undangkan pada tahun 2010. Bisa dibayangkan apabila RUU keperawatan di undangkan pada tahun 2010 ini akan merubah tatanan yang sudah ada, bukan hanya dalam pelayanan kesehatan/ keperawatan saja tapi juga perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan keperawatan.
Bagaimana peran PPNI di daerah ? sangat sulit dibayangkan apabila UU Keperawatan diberlakukan sedang daerah sebagai porposus core dalam pelayanan keperawatan dan pendidikan tidak melakukan antisipasi dan perubahan-perubahan. Bahkan daerah menjadi sebuah kendala/ penghambat besar pelaksanaan kebijakan tersebut. Apalagi PPNI pada tingkat Profinsi atau Pusat gagal dalam mensosialisasikan persiapan pelaksanaan UU Keperawatan. Maka dapat di ramalkan akan terjadi stunami kedua setelah pemberlakukan UU No. 29/2004 tentang praktik Kedokteran.
Potensi Perawat di Kabupaten Cirebon sangat besar, terdapat tenaga perawat di Puskesmas untuk memenuhi kebutuhan kesehatan Masyarakat di wilayah Cirebon (2006) 623 perawat, dan 553 perawat Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan, atau sekitar 48,64% dari seluruh jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Cirebon. Sedangkan calon tenaga perawat dari wilayah III sebanyak 800 orang/ tahun. Dan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk 55,56/ 100.000 penduduk (perawat & bidan), badingkan dengan perbandingan Nasional sekitar 44/ 100.000 penduduk. Potensi yang besar tersebut dalam jumlah sangat minim konstribusinya dalam proses pengambilan keputusan pelayanan kesehatan.
Perjuangan perawat dalam pengakuan profesi tidak bisa dilakukan oleh perorangan ataupun hanya pada tingkat Pusat dan propinsi, bahkan sebagai kunci perjuangan mestinya pada tatanan bawah (kab/kota). Untuk mendapatkan pengakuan masyarakat perawat tidak bisa berpangku tangan atau menunggu belas kasihan pemerintah, tapi ia harus berjuang untuk menghasilkan karya perawatan yang dapat diterima oleh berbagai lapisan. Setiap orang yang mengabdikan dirinya untuk dunia keperawatan harus memiliki komitmen dalam perkembangan profesi, oleh karena itu pada tataran pelayanan kesehatan baik di Puskesmas atau pun Rumah sakit serta pelayanan keperawatan lain tidak bisa bekerja secara profesional apabila dalam proses pendidikannya tidak dimulai untuk bersikap profesional. Harus bersinergi dunia pendidikan dan dunia kerja dalam mengembangkan profesi.
Bagaimana dengan kesejahteraan Perawat ? sangat ironis dan diskriminatif. Untuk mendapatkan honor/ upah jasa pekerjaan banyak yang dibayar tidak layak apalagi mendapatkan jasa perawatan. Belum lagi dengan kebijakan pemerintah (Depkes) Kepmenkes 1239/2001 perawat tidak dijinkan memasang papan praktik. Dan lebih heboh lagi ketika awal di berlakukannya UU No. 29, terkesan membersihkan tenaga perawat yang praktik di rumah, padahal keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Supriadi E. (2004) “Perawat tidak akan melakukan praktik medis bila tenaga medis didaerah tersebut tersedia”
Terhadap fenomena diatas DPD PPNI Kabupaten Cirebon harus mampu menawarkan solusi untuk mengentaskan profesionalisme sehingga diakui oleh masyarakat secara utuh. Peningkatan jenjang pendidikan anggota agar dapat di fasilitasi sehingga akan meningkat secara kualitas. Advokasi terhadap anggota terus ditingkatkan untuk mendapatkan kepercayaan dari anggota sebagai wadah yang dapat melindungi. Meningkatkan tingkat kesejahteran anggota dengan cara ekonomi kerakyatan menjadikan terobosan membantu anggota yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan dapat ditingkatkan, mendukung karier anggota dalam peranannya sebagai penentu kebijakan pembangunan daerah sehingga memiliki tawaran yang kuat dalam membangun di bidang kesehatan. Dan lebih penting lagi adalah memiliki informasi tentang anggota untuk mengukur kekuatan organisasi sehingga perlu merangkul seluruh anggota untuk mendapatkan dukungannya. Karena kekuatan apapun tanpa dukungan dari angggota merupakan hal yang sangat mustahil dalam berjuang membangun dan menegembangan organisasi profesi.
Selamat berjuang dan bermusyawarah.
26 Desember 2009
Askeskin, Jamkesmas, dan SJSN
SulastomoMantan Ketua Tim SJSN
Jaminan kesehatan merupakan jaminan sosial pertama yang dibutuhkan manusia. Begitu dilahirkan, jaminan kesehatan telah diperlukan, untuk bayi dan ibunya. Siapa yang harus membiayai jaminan kesehatannya ketika bayi itu dewasa ataupun pada saat sudah purnatugas?Jaminan kesehatan diperlukan sepanjang kehidupan manusia. Kalau aspek pembiayaan tidak terjamin, dampaknya sudah tentu pada status kesejahteraan rakyat. Kematian bayi, kematian ibu yang melahirkan tinggi, dan harapan hidup (life-expectancy) akan rendah. Berikutnya, kualitas hidup manusia (human development index) juga akan buruk. Tahun ini peringkat human development index Indonesia justru merosot menjadi peringkat ke-111 meskipun Askeskin dan Jamkesmas telah diberlakukan.Upaya-upaya untuk dapat memenuhi jaminan kesehatan untuk mencakup semua penduduk (universal coverage) telah banyak diusahakan. Titik tolaknya, antara lain, tergantung bagaimana negara itu memberlakukan jaminan kesehatan bagi rakyatnya.
Apakah ”jaminan kesehatan” diberlakukan sebagai ”hak” setiap warganegara atau ”kewajiban” negara untuk memberikan? Kalau secara filosofis diberlakukan sebagai ”hak”, komitmen negara seharusnya sangat tinggi. Sementara rakyat bisa mempertanyakan, buat apa bernegara kalau negaranya tidak dapat memberikan ”hak”-nya? Meski demikian, bagaimana sebuah negara memenuhi ”hak” rakyatnya tergantung sistem politik/ekonomi yang dianut. Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN), menerapkan prinsip- prinsip social-state model (BismarckModel) dengan mengakomodasi prinsip-prinsip welfare-state model (Beveridge Model), khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, sesuai Pasal 34 UUD 1945. Dalam SJSN diperkenalkan peserta penerima bantuan iuran, di mana iuran jaminan sosialnya dibayar oleh pemerintah. Dengan perkataan lain, jaminan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu diintegrasikan penyelenggaraannya dengan masyarakat yang mampu, agar terjadi subsidi tidak langsung, sehingga program jaminan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu berkelanjutan.
Pendekatan SJSN
Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengurangi peran pemerintah daerah, khususnya daerah yang penerimaan daerahnya kecil dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Dengan pendekatan seperti itu, pemerataan penyelenggaraan jaminan kesehatan dapat terwujud dan berkelanjutan. Diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial agar sumber pendanaannya jelas dan terukur. Bersifat wajib untuk mewujudkan kegotongroyongan dan mencegah terjadinya bias-selection ataupun moralhazard, sehingga pengendalian biaya pelayanan kesehatan terkontrol, sementara biaya operasionalnya rendah.
Selain itu, dalam SJSN juga ditetapkan manfaat (benefit- package) yang jelas, sistem pemberian pelayanan kesehatan dan pembiayaan (deliveryand financing of healthcare), serta standar dan harga obat sehinggabiaya dan kualitas pelayanan kesehatan dapat diprediksi lebih mudah.Hal ini sangat penting bagi kelangsungan program jaminan kesehatan. Semuanya diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan kelayakan program. Hal ini diperlukan agar tujuan pencapaian cakupan menyeluruh (universal coverage) dapat berjalan dengan mulus, tidak banyak mengalami gejolak sosial, sehingga SJSN diterima sebagai sebuah program yang dibutuhkan masyarakat. Karena itu, diperlukan sebuah theroad map yang memaparkan penahapan mewujudkan universal coverage itu dengan memerhatikan perkembangan program jaminan sosial lain, khususnya jaminan pensiun.
Diprediksi bahwa universal coverage jaminan kesehatan akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun, sesuai perkembangan cakupan penyelenggaraan program jaminan pensiun. Bandingkan dengan Korea Selatan, dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil, memerlukan waktu 12 tahun untuk mewujudkan universal coverage. Mungkin bisa dipercepat kalau ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR.
Prospek Askeskin dan Jamkesmas
Program Askeskin dan Jamkesmas serta ”kesehatan gratis” di sejumlah daerah sesungguhnya sudah merupakan upaya untuk perluasan pemberian pelayanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat miskin. Namun,universal coverage masih belum dapat dicapai dengan Askeskin/Jamkesmas. Sebagian besar penduduk yang tidak tercakup program itu, meskipun tidak termasuk masyarakat miskin, masih akan menghadapi biaya kesehatan yang tinggi sehingga bisa berdampak ekonomi keluarga. Sebaliknya, kalau semua biaya kesehatan dibebankan padaAPBN/APBD, bisa menjadi beban yang berat.
Karena itu, dalam pendekatan SJSN diperkenalkan mekanisme asuransi sosial dengan membuka peluang kepesertaan penerimaan bantuan iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, di mana iuran jaminan sosialnya ditanggung oleh negara. Dengan demikian, SJSN diberlakukan bagi masyarakat yang mampu dan yang tidak mampu sehingga kegotongroyongan dan keadilan sosial bisa terwujud. Askeskin/Jamkesmas yang sudah berjalan, dengan demikian, perlu disesuaikan dengan pendekatan SJSN
Jaminan kesehatan merupakan jaminan sosial pertama yang dibutuhkan manusia. Begitu dilahirkan, jaminan kesehatan telah diperlukan, untuk bayi dan ibunya. Siapa yang harus membiayai jaminan kesehatannya ketika bayi itu dewasa ataupun pada saat sudah purnatugas?Jaminan kesehatan diperlukan sepanjang kehidupan manusia. Kalau aspek pembiayaan tidak terjamin, dampaknya sudah tentu pada status kesejahteraan rakyat. Kematian bayi, kematian ibu yang melahirkan tinggi, dan harapan hidup (life-expectancy) akan rendah. Berikutnya, kualitas hidup manusia (human development index) juga akan buruk. Tahun ini peringkat human development index Indonesia justru merosot menjadi peringkat ke-111 meskipun Askeskin dan Jamkesmas telah diberlakukan.Upaya-upaya untuk dapat memenuhi jaminan kesehatan untuk mencakup semua penduduk (universal coverage) telah banyak diusahakan. Titik tolaknya, antara lain, tergantung bagaimana negara itu memberlakukan jaminan kesehatan bagi rakyatnya.
Apakah ”jaminan kesehatan” diberlakukan sebagai ”hak” setiap warganegara atau ”kewajiban” negara untuk memberikan? Kalau secara filosofis diberlakukan sebagai ”hak”, komitmen negara seharusnya sangat tinggi. Sementara rakyat bisa mempertanyakan, buat apa bernegara kalau negaranya tidak dapat memberikan ”hak”-nya? Meski demikian, bagaimana sebuah negara memenuhi ”hak” rakyatnya tergantung sistem politik/ekonomi yang dianut. Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN), menerapkan prinsip- prinsip social-state model (BismarckModel) dengan mengakomodasi prinsip-prinsip welfare-state model (Beveridge Model), khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, sesuai Pasal 34 UUD 1945. Dalam SJSN diperkenalkan peserta penerima bantuan iuran, di mana iuran jaminan sosialnya dibayar oleh pemerintah. Dengan perkataan lain, jaminan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu diintegrasikan penyelenggaraannya dengan masyarakat yang mampu, agar terjadi subsidi tidak langsung, sehingga program jaminan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu berkelanjutan.
Pendekatan SJSN
Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengurangi peran pemerintah daerah, khususnya daerah yang penerimaan daerahnya kecil dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Dengan pendekatan seperti itu, pemerataan penyelenggaraan jaminan kesehatan dapat terwujud dan berkelanjutan. Diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial agar sumber pendanaannya jelas dan terukur. Bersifat wajib untuk mewujudkan kegotongroyongan dan mencegah terjadinya bias-selection ataupun moralhazard, sehingga pengendalian biaya pelayanan kesehatan terkontrol, sementara biaya operasionalnya rendah.
Selain itu, dalam SJSN juga ditetapkan manfaat (benefit- package) yang jelas, sistem pemberian pelayanan kesehatan dan pembiayaan (deliveryand financing of healthcare), serta standar dan harga obat sehinggabiaya dan kualitas pelayanan kesehatan dapat diprediksi lebih mudah.Hal ini sangat penting bagi kelangsungan program jaminan kesehatan. Semuanya diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan kelayakan program. Hal ini diperlukan agar tujuan pencapaian cakupan menyeluruh (universal coverage) dapat berjalan dengan mulus, tidak banyak mengalami gejolak sosial, sehingga SJSN diterima sebagai sebuah program yang dibutuhkan masyarakat. Karena itu, diperlukan sebuah theroad map yang memaparkan penahapan mewujudkan universal coverage itu dengan memerhatikan perkembangan program jaminan sosial lain, khususnya jaminan pensiun.
Diprediksi bahwa universal coverage jaminan kesehatan akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun, sesuai perkembangan cakupan penyelenggaraan program jaminan pensiun. Bandingkan dengan Korea Selatan, dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil, memerlukan waktu 12 tahun untuk mewujudkan universal coverage. Mungkin bisa dipercepat kalau ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR.
Prospek Askeskin dan Jamkesmas
Program Askeskin dan Jamkesmas serta ”kesehatan gratis” di sejumlah daerah sesungguhnya sudah merupakan upaya untuk perluasan pemberian pelayanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat miskin. Namun,universal coverage masih belum dapat dicapai dengan Askeskin/Jamkesmas. Sebagian besar penduduk yang tidak tercakup program itu, meskipun tidak termasuk masyarakat miskin, masih akan menghadapi biaya kesehatan yang tinggi sehingga bisa berdampak ekonomi keluarga. Sebaliknya, kalau semua biaya kesehatan dibebankan padaAPBN/APBD, bisa menjadi beban yang berat.
Karena itu, dalam pendekatan SJSN diperkenalkan mekanisme asuransi sosial dengan membuka peluang kepesertaan penerimaan bantuan iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, di mana iuran jaminan sosialnya ditanggung oleh negara. Dengan demikian, SJSN diberlakukan bagi masyarakat yang mampu dan yang tidak mampu sehingga kegotongroyongan dan keadilan sosial bisa terwujud. Askeskin/Jamkesmas yang sudah berjalan, dengan demikian, perlu disesuaikan dengan pendekatan SJSN
19 November 2009
Pengobatan Masal
Penyakit kaki gajah yang lama sudah tidak terdengar, kini mulai muncul, bahkan tidak tanggung-tanggung 25 propinsi dimungkinkan akan mengalami endmi filariasis. Kemunculannya mengagetkan di Jawa barat karena beberapa orang mengalami korban akibat minum obat tesebut, sehingga mengundang YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ) mulai angkat bicara, agar pengobatan masal Depkes dihentikan sebelum ditemukan secara empiris akibat meninggalnya masyarakat tersebut. Demikian pula dengan Komisi IX DPR RI, meminta pengobatan massal penyakit kaki gajah (filariasis) di Kab. Bandung ditunda. Hal tersebut
disebabkan kasus efek samping yang menimpa 1.145 warga Kab. Bandung dinilai telah meresahkan masyarakat. "Karena isu ini meresahkan, sebaiknya ditunda saja sampai kita semua
benar-benar yakin. Jangan sampai ada pernyataan obat ini aman dikonsumsi, tetapi ternyata ada warga yang mengeluh tentang efek sampingnya,"
Menkes RI yang baru menyampaikan agar pengobatan masal terus di lanjutkan dan dalam komentarnya ia mengatakan bahwa "Kita tetap melanjutkan. Anda bisa bayangkan, kalau sampai ini dihentikan, berapa banyak yang akan cacat seumur hidup dan tertular filariasis karenanya." Seakan pengobatan ini mereupakan cara yang ampuh untuk menangulangi penyakit yang dibawa oleh nyamuk tersebut.
Menurut Adi Sasongko, Orang yang mengidap mikro filaria dalam tubuhnya memang harus minum obat. Pertanyaannya: dari puluhan/ratusan ribu orang yang diwajibkan minum obat berapa persen yang sesungguhnya mengidap mikro filaria? Pertanyaan ini mengajak kita untuk berpikir seberapa besar efektifitas pengobatan ini, bahkan beliau juga menyatakan "Harus diingat bahwa minum obat DEC tidak akan mencegah terjadinya infeksi jika nyamuk yang menyebarkan mikro filaria ini tetap bergentayangan dimana-mana."
Pernyataan diatas mengingatkan kita akan wabah DBD, cara yang ampuh mengatasi nyamuk Aides Agiphty adalah dengan penyemprotan (Foging) namun cara ini pun tidak efektif, karena penyemprotan hanya sehari menghilangkan nyamuk tersebut dengan diameter 100 M. Tapi cara ini oleh Masyarakat dan Aparat pemerintah Daerah menjadikan obat mujarab guna membasmi Nyamuk pembawa wabah tersebut.
Gaya penanggulangan masalah filaria dengan cara pengobatan massal seperti ini sudah dijadikan andalan utama selama belasan/puluhan tahun. Jika cara ini memang efektif maka sudah lama masalah filaria ini sudah bisa dikendalikan. Faktanya? Setelah bertahun-tahun melakukan pengobatan massal justru peta daerah penyebaran filaria semakin meluas. Seharusnya fakta ini mendorong kita untuk membuat evaluasi secara serius tentang efektivitas pengobatan masal bukan malah latah mengulang-ulang terus hal yang sama.
Gaya penanganan masalah seperti ini memang memperlihatkan bahwa masih banyak diantara kita memilih cara yang gampang bukan cara yang benar. Membagi-bagi obat secara massal tanpa pandang bulu adalah cara yang gampang. Masalahnya apakah cara ini betul-betul menyelesaikan masalah?
Cara yang benar adalah melakukan upaya yang komprehensif. Bukan hanya sekedar membagi-bagi obat secara massal tetapi harus disertai upaya massif menanggulangi masalah lingkungan yang menjadi sumber perkembangan nyamuk penyebar mikro filaria. Pada saat yang sama perlu dilakukan upaya edukasi secara efektif pada masyarakat agar mereka memahami masalah ini dan tergerak untuk melakukan upaya penanggulangan.
Apakah ini sudah dilakukan? Yang baru akan dilakukan oleh Menkes, Pemerintah akan lebih berhati-hati melakukan prosedur pencegahan penularan cacing filaria itu dengan memperbaiki sosialisasi program dan memperbanyak pelatihan bagi tenaga kesehatan dan kader kesehatan.
Perbaikan program mudah-mudahan menyangkut program penanggulangan lingkungan, disini Depkes tidak dapat bekerja sendiri, tapi melibatkan departemen Lingkungan hidup, tata kota, Depatemen Pendidikan, bahkan kepolisian bila perlu, dalam pengelolaan lingkungan supaya bebas dari nyamuk pembawa filariasis.
JIka kita ingin menanggulangi masalah filariasis maka jelas harus ada upaya masif untuk membenahi lingkungan untuk membasmi nyamuk penyebar mikro filaria.
disebabkan kasus efek samping yang menimpa 1.145 warga Kab. Bandung dinilai telah meresahkan masyarakat. "Karena isu ini meresahkan, sebaiknya ditunda saja sampai kita semua
benar-benar yakin. Jangan sampai ada pernyataan obat ini aman dikonsumsi, tetapi ternyata ada warga yang mengeluh tentang efek sampingnya,"
Menkes RI yang baru menyampaikan agar pengobatan masal terus di lanjutkan dan dalam komentarnya ia mengatakan bahwa "Kita tetap melanjutkan. Anda bisa bayangkan, kalau sampai ini dihentikan, berapa banyak yang akan cacat seumur hidup dan tertular filariasis karenanya." Seakan pengobatan ini mereupakan cara yang ampuh untuk menangulangi penyakit yang dibawa oleh nyamuk tersebut.
Menurut Adi Sasongko, Orang yang mengidap mikro filaria dalam tubuhnya memang harus minum obat. Pertanyaannya: dari puluhan/ratusan ribu orang yang diwajibkan minum obat berapa persen yang sesungguhnya mengidap mikro filaria? Pertanyaan ini mengajak kita untuk berpikir seberapa besar efektifitas pengobatan ini, bahkan beliau juga menyatakan "Harus diingat bahwa minum obat DEC tidak akan mencegah terjadinya infeksi jika nyamuk yang menyebarkan mikro filaria ini tetap bergentayangan dimana-mana."
Pernyataan diatas mengingatkan kita akan wabah DBD, cara yang ampuh mengatasi nyamuk Aides Agiphty adalah dengan penyemprotan (Foging) namun cara ini pun tidak efektif, karena penyemprotan hanya sehari menghilangkan nyamuk tersebut dengan diameter 100 M. Tapi cara ini oleh Masyarakat dan Aparat pemerintah Daerah menjadikan obat mujarab guna membasmi Nyamuk pembawa wabah tersebut.
Gaya penanggulangan masalah filaria dengan cara pengobatan massal seperti ini sudah dijadikan andalan utama selama belasan/puluhan tahun. Jika cara ini memang efektif maka sudah lama masalah filaria ini sudah bisa dikendalikan. Faktanya? Setelah bertahun-tahun melakukan pengobatan massal justru peta daerah penyebaran filaria semakin meluas. Seharusnya fakta ini mendorong kita untuk membuat evaluasi secara serius tentang efektivitas pengobatan masal bukan malah latah mengulang-ulang terus hal yang sama.
Gaya penanganan masalah seperti ini memang memperlihatkan bahwa masih banyak diantara kita memilih cara yang gampang bukan cara yang benar. Membagi-bagi obat secara massal tanpa pandang bulu adalah cara yang gampang. Masalahnya apakah cara ini betul-betul menyelesaikan masalah?
Cara yang benar adalah melakukan upaya yang komprehensif. Bukan hanya sekedar membagi-bagi obat secara massal tetapi harus disertai upaya massif menanggulangi masalah lingkungan yang menjadi sumber perkembangan nyamuk penyebar mikro filaria. Pada saat yang sama perlu dilakukan upaya edukasi secara efektif pada masyarakat agar mereka memahami masalah ini dan tergerak untuk melakukan upaya penanggulangan.
Apakah ini sudah dilakukan? Yang baru akan dilakukan oleh Menkes, Pemerintah akan lebih berhati-hati melakukan prosedur pencegahan penularan cacing filaria itu dengan memperbaiki sosialisasi program dan memperbanyak pelatihan bagi tenaga kesehatan dan kader kesehatan.
Perbaikan program mudah-mudahan menyangkut program penanggulangan lingkungan, disini Depkes tidak dapat bekerja sendiri, tapi melibatkan departemen Lingkungan hidup, tata kota, Depatemen Pendidikan, bahkan kepolisian bila perlu, dalam pengelolaan lingkungan supaya bebas dari nyamuk pembawa filariasis.
JIka kita ingin menanggulangi masalah filariasis maka jelas harus ada upaya masif untuk membenahi lingkungan untuk membasmi nyamuk penyebar mikro filaria.
12 November 2009
Reformasi Kesehatan
By : Hari Kusnanto
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM
Kata ”reformasi kesehatan” muncul dari Menteri Kesehatan yang barudengan berbagai program dan energi yang membayang di belakangnya. Semua negara di dunia mengamini ”reformasi kesehatan” meskimemaknainya secara berbeda-beda. Hiruk pikuk reformasi kesehatan diAmerika Serikat pada bulan-bulan pertama pemerintahan Barack Obama menegaskan, reformasi kesehatan adalah belantara yang belum terpetakan.
Memaknai reformasi kesehatan
Rancangan reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakatabai terhadap tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana pemerintah untuk pengobatanadalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait kebiasaan merokokaktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di rumah yangdipenuhi kepulan asap rokok.
Reformasi kesehatan di perkotaan tidak bisa membiarkan masyarakat bertoleransi atas kehadiran nyamuk Aedes aegypti (penyebab penyakitdemam berdarah), tanpa mencari tahu di mana tempat perindukannya danberusaha memusnahkannya. Reformasi kesehatan yang menempatkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya sebagai tempat pengobatan PUSing, KESeleo, danMASuk angin. Puskesmas di daerah endemik malaria harus mampu mendiagnosis malaria dan mengobati secara tepat. Perlu lebih banyak puskesmas yang mampu mendiagnosis tuberkulosis dan tuntas mengobatinya hingga sembuh. Banyak penderita penyakit kronik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, dapat dilayani dengan baik di puskesmas. Kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu disertaisistem kompensasi layak berbasis kinerja yang berhasil dicapai.
Kegiatan luar gedung
Dalam debat calon wakil presiden, Boediono menggambarkan reformasi kesehatan sebagai peningkatan kegiatan luar gedung. Ini mirip paradokter Kuba yang bekerja di Timor Leste saat ini. Mereka memilikideterminasi kuat untuk mengunjungi rumah penduduk, khususnya di daerah terpencil, sehingga dapat menularkan pengetahuan dan perilaku sehat kepada masyarakat. Bukan kebetulan, angka kematian bayi yangmenggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kuba (6 kematian bayiper 1.000 kelahiran hidup) mengungguli AS (7 kematian bayi per 1.000kelahiran hidup).
Kegagalan reformasi kesehatan di banyak negara berkembang sering diakibatkan keterbatasan analisis kebijakan, campur tangan kelewatjauh lembaga internasional yang memaksakan template reformasi yang tidak pas, implementasi yang top-down sehingga tidak mengundang partisipasi dan rasa memiliki pemerintah lokal, dan cenderung tanpakritis meniru model reformasi negara lain.Reformasi kesehatan sejak akhir 1980- an hingga 1990-an didominasi idedesentralisasi, otonomi rumah sakit, kontribusi masyarakat dalam menanggung biaya pelayanan kesehatan, ditambah pertumbuhan sektor swasta dan asuransi kesehatan. Tahun 2000-an masalah reformasi kesehatan kian beragam, kebanyakan bertujuan untuk menjamin keadilandan pemerataan layanan kesehatan dan jaminan universal layanan kesehatan, dengan perhatian khusus keluarga miskin.
Realokasi sumber daya
Setiap reformasi kesehatan meredefinisi peran pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan, pasien, penjamin biaya, dan organisasi lainterkait pelayanan kesehatan. Perubahan dalam sistem jaminan pelayanan yang membebankan biaya kepada pasien setiap kali sakit dapat menimbulkan gejolak setelah mereka menikmati layanan gratis Jamkesmas, meski sebagian di antara mereka tidak tergolong miskin. Sementara itu,banyak orang yang amat miskin tidak mampu mengakses Jamkesmas.Beberapa pemerintah lokal yang mencanangkan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat merasakan guncangan anggaran daerah karena pengeluaran yang tinggi sehingga mengancam kelangsungan program kesehatan dan sektor pembangunan lainnya.
Lima tahun lalu, setelah UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan, akan selalu mewarnai upaya reformasi kesehatan pada masa datang, termasuk bagaimana sejumlah peraturan pemerintahpusat dan daerah harus dikembangkan untuk mendukung implementasi UU itu. Dasar-dasar jaminan universal bagi layanan kesehatan untuk seluruh anak bangsa diletakkan dalam UU No 40/2004. Kita menunggu bagaimana jalur menuju jaminan kesehatan universal dapat dipetakan pemerintah sebagai sarana dialog berkelanjutan sehingga tiap rupiahyang dibelanjakan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.
Alokasi anggaran dan sistem target untuk meminimalkan kesenjangan kesehatan antara individu maupun keluarga di daerah satu dan yang lain merupakan tantangan yang kompleks. Di Kabupaten Bantul, tiap desa yang selama setahun bebas dari kematian ibu, kematian bayi, demam berdarah, dan gizi buruk akan mendapat dana Rp 200 juta. Ini hanya contoh kecil, dibutuhkan kreativitas dalam mengembangkan sistem alokasi anggaran dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Reformasi kesehatan adalah perjalanan menuju kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan, sebagaimana negara lain yang masih terus mempertajam sistem yang selama ini merekaterapkan.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM
Kata ”reformasi kesehatan” muncul dari Menteri Kesehatan yang barudengan berbagai program dan energi yang membayang di belakangnya. Semua negara di dunia mengamini ”reformasi kesehatan” meskimemaknainya secara berbeda-beda. Hiruk pikuk reformasi kesehatan diAmerika Serikat pada bulan-bulan pertama pemerintahan Barack Obama menegaskan, reformasi kesehatan adalah belantara yang belum terpetakan.
Memaknai reformasi kesehatan
Rancangan reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakatabai terhadap tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana pemerintah untuk pengobatanadalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait kebiasaan merokokaktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di rumah yangdipenuhi kepulan asap rokok.
Reformasi kesehatan di perkotaan tidak bisa membiarkan masyarakat bertoleransi atas kehadiran nyamuk Aedes aegypti (penyebab penyakitdemam berdarah), tanpa mencari tahu di mana tempat perindukannya danberusaha memusnahkannya. Reformasi kesehatan yang menempatkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya sebagai tempat pengobatan PUSing, KESeleo, danMASuk angin. Puskesmas di daerah endemik malaria harus mampu mendiagnosis malaria dan mengobati secara tepat. Perlu lebih banyak puskesmas yang mampu mendiagnosis tuberkulosis dan tuntas mengobatinya hingga sembuh. Banyak penderita penyakit kronik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, dapat dilayani dengan baik di puskesmas. Kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu disertaisistem kompensasi layak berbasis kinerja yang berhasil dicapai.
Kegiatan luar gedung
Dalam debat calon wakil presiden, Boediono menggambarkan reformasi kesehatan sebagai peningkatan kegiatan luar gedung. Ini mirip paradokter Kuba yang bekerja di Timor Leste saat ini. Mereka memilikideterminasi kuat untuk mengunjungi rumah penduduk, khususnya di daerah terpencil, sehingga dapat menularkan pengetahuan dan perilaku sehat kepada masyarakat. Bukan kebetulan, angka kematian bayi yangmenggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kuba (6 kematian bayiper 1.000 kelahiran hidup) mengungguli AS (7 kematian bayi per 1.000kelahiran hidup).
Kegagalan reformasi kesehatan di banyak negara berkembang sering diakibatkan keterbatasan analisis kebijakan, campur tangan kelewatjauh lembaga internasional yang memaksakan template reformasi yang tidak pas, implementasi yang top-down sehingga tidak mengundang partisipasi dan rasa memiliki pemerintah lokal, dan cenderung tanpakritis meniru model reformasi negara lain.Reformasi kesehatan sejak akhir 1980- an hingga 1990-an didominasi idedesentralisasi, otonomi rumah sakit, kontribusi masyarakat dalam menanggung biaya pelayanan kesehatan, ditambah pertumbuhan sektor swasta dan asuransi kesehatan. Tahun 2000-an masalah reformasi kesehatan kian beragam, kebanyakan bertujuan untuk menjamin keadilandan pemerataan layanan kesehatan dan jaminan universal layanan kesehatan, dengan perhatian khusus keluarga miskin.
Realokasi sumber daya
Setiap reformasi kesehatan meredefinisi peran pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan, pasien, penjamin biaya, dan organisasi lainterkait pelayanan kesehatan. Perubahan dalam sistem jaminan pelayanan yang membebankan biaya kepada pasien setiap kali sakit dapat menimbulkan gejolak setelah mereka menikmati layanan gratis Jamkesmas, meski sebagian di antara mereka tidak tergolong miskin. Sementara itu,banyak orang yang amat miskin tidak mampu mengakses Jamkesmas.Beberapa pemerintah lokal yang mencanangkan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat merasakan guncangan anggaran daerah karena pengeluaran yang tinggi sehingga mengancam kelangsungan program kesehatan dan sektor pembangunan lainnya.
Lima tahun lalu, setelah UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan, akan selalu mewarnai upaya reformasi kesehatan pada masa datang, termasuk bagaimana sejumlah peraturan pemerintahpusat dan daerah harus dikembangkan untuk mendukung implementasi UU itu. Dasar-dasar jaminan universal bagi layanan kesehatan untuk seluruh anak bangsa diletakkan dalam UU No 40/2004. Kita menunggu bagaimana jalur menuju jaminan kesehatan universal dapat dipetakan pemerintah sebagai sarana dialog berkelanjutan sehingga tiap rupiahyang dibelanjakan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.
Alokasi anggaran dan sistem target untuk meminimalkan kesenjangan kesehatan antara individu maupun keluarga di daerah satu dan yang lain merupakan tantangan yang kompleks. Di Kabupaten Bantul, tiap desa yang selama setahun bebas dari kematian ibu, kematian bayi, demam berdarah, dan gizi buruk akan mendapat dana Rp 200 juta. Ini hanya contoh kecil, dibutuhkan kreativitas dalam mengembangkan sistem alokasi anggaran dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Reformasi kesehatan adalah perjalanan menuju kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan, sebagaimana negara lain yang masih terus mempertajam sistem yang selama ini merekaterapkan.
Langganan:
Postingan (Atom)