19 November 2009

Pengobatan Masal

Penyakit kaki gajah yang lama sudah tidak terdengar, kini mulai muncul, bahkan tidak tanggung-tanggung 25 propinsi dimungkinkan akan mengalami endmi filariasis. Kemunculannya mengagetkan di Jawa barat karena beberapa orang mengalami korban akibat minum obat tesebut, sehingga mengundang YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ) mulai angkat bicara, agar pengobatan masal Depkes dihentikan sebelum ditemukan secara empiris akibat meninggalnya masyarakat tersebut. Demikian pula dengan Komisi IX DPR RI, meminta pengobatan massal penyakit kaki gajah (filariasis) di Kab. Bandung ditunda. Hal tersebut
disebabkan kasus efek samping yang menimpa 1.145 warga Kab. Bandung dinilai telah meresahkan masyarakat. "Karena isu ini meresahkan, sebaiknya ditunda saja sampai kita semua
benar-benar yakin. Jangan sampai ada pernyataan obat ini aman dikonsumsi, tetapi ternyata ada warga yang mengeluh tentang efek sampingnya,"

Menkes RI yang baru menyampaikan agar pengobatan masal terus di lanjutkan dan dalam komentarnya ia mengatakan bahwa "Kita tetap melanjutkan. Anda bisa bayangkan, kalau sampai ini dihentikan, berapa banyak yang akan cacat seumur hidup dan tertular filariasis karenanya." Seakan pengobatan ini mereupakan cara yang ampuh untuk menangulangi penyakit yang dibawa oleh nyamuk tersebut.

Menurut Adi Sasongko, Orang yang mengidap mikro filaria dalam tubuhnya memang harus minum obat. Pertanyaannya: dari puluhan/ratusan ribu orang yang diwajibkan minum obat berapa persen yang sesungguhnya mengidap mikro filaria? Pertanyaan ini mengajak kita untuk berpikir seberapa besar efektifitas pengobatan ini, bahkan beliau juga menyatakan "Harus diingat bahwa minum obat DEC tidak akan mencegah terjadinya infeksi jika nyamuk yang menyebarkan mikro filaria ini tetap bergentayangan dimana-mana."

Pernyataan diatas mengingatkan kita akan wabah DBD, cara yang ampuh mengatasi nyamuk Aides Agiphty adalah dengan penyemprotan (Foging) namun cara ini pun tidak efektif, karena penyemprotan hanya sehari menghilangkan nyamuk tersebut dengan diameter 100 M. Tapi cara ini oleh Masyarakat dan Aparat pemerintah Daerah menjadikan obat mujarab guna membasmi Nyamuk pembawa wabah tersebut.

Gaya penanggulangan masalah filaria dengan cara pengobatan massal seperti ini sudah dijadikan andalan utama selama belasan/puluhan tahun. Jika cara ini memang efektif maka sudah lama masalah filaria ini sudah bisa dikendalikan. Faktanya? Setelah bertahun-tahun melakukan pengobatan massal justru peta daerah penyebaran filaria semakin meluas. Seharusnya fakta ini mendorong kita untuk membuat evaluasi secara serius tentang efektivitas pengobatan masal bukan malah latah mengulang-ulang terus hal yang sama.
Gaya penanganan masalah seperti ini memang memperlihatkan bahwa masih banyak diantara kita memilih cara yang gampang bukan cara yang benar. Membagi-bagi obat secara massal tanpa pandang bulu adalah cara yang gampang. Masalahnya apakah cara ini betul-betul menyelesaikan masalah?

Cara yang benar adalah melakukan upaya yang komprehensif. Bukan hanya sekedar membagi-bagi obat secara massal tetapi harus disertai upaya massif menanggulangi masalah lingkungan yang menjadi sumber perkembangan nyamuk penyebar mikro filaria. Pada saat yang sama perlu dilakukan upaya edukasi secara efektif pada masyarakat agar mereka memahami masalah ini dan tergerak untuk melakukan upaya penanggulangan.

Apakah ini sudah dilakukan? Yang baru akan dilakukan oleh Menkes, Pemerintah akan lebih berhati-hati melakukan prosedur pencegahan penularan cacing filaria itu dengan memperbaiki sosialisasi program dan memperbanyak pelatihan bagi tenaga kesehatan dan kader kesehatan.
Perbaikan program mudah-mudahan menyangkut program penanggulangan lingkungan, disini Depkes tidak dapat bekerja sendiri, tapi melibatkan departemen Lingkungan hidup, tata kota, Depatemen Pendidikan, bahkan kepolisian bila perlu, dalam pengelolaan lingkungan supaya bebas dari nyamuk pembawa filariasis.
JIka kita ingin menanggulangi masalah filariasis maka jelas harus ada upaya masif untuk membenahi lingkungan untuk membasmi nyamuk penyebar mikro filaria.

12 November 2009

Reformasi Kesehatan

By : Hari Kusnanto
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM

Kata ”reformasi kesehatan” muncul dari Menteri Kesehatan yang barudengan berbagai program dan energi yang membayang di belakangnya. Semua negara di dunia mengamini ”reformasi kesehatan” meskimemaknainya secara berbeda-beda. Hiruk pikuk reformasi kesehatan diAmerika Serikat pada bulan-bulan pertama pemerintahan Barack Obama menegaskan, reformasi kesehatan adalah belantara yang belum terpetakan.

Memaknai reformasi kesehatan
Rancangan reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakatabai terhadap tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana pemerintah untuk pengobatanadalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait kebiasaan merokokaktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di rumah yangdipenuhi kepulan asap rokok.
Reformasi kesehatan di perkotaan tidak bisa membiarkan masyarakat bertoleransi atas kehadiran nyamuk Aedes aegypti (penyebab penyakitdemam berdarah), tanpa mencari tahu di mana tempat perindukannya danberusaha memusnahkannya. Reformasi kesehatan yang menempatkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya sebagai tempat pengobatan PUSing, KESeleo, danMASuk angin. Puskesmas di daerah endemik malaria harus mampu mendiagnosis malaria dan mengobati secara tepat. Perlu lebih banyak puskesmas yang mampu mendiagnosis tuberkulosis dan tuntas mengobatinya hingga sembuh. Banyak penderita penyakit kronik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, dapat dilayani dengan baik di puskesmas. Kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu disertaisistem kompensasi layak berbasis kinerja yang berhasil dicapai.

Kegiatan luar gedung
Dalam debat calon wakil presiden, Boediono menggambarkan reformasi kesehatan sebagai peningkatan kegiatan luar gedung. Ini mirip paradokter Kuba yang bekerja di Timor Leste saat ini. Mereka memilikideterminasi kuat untuk mengunjungi rumah penduduk, khususnya di daerah terpencil, sehingga dapat menularkan pengetahuan dan perilaku sehat kepada masyarakat. Bukan kebetulan, angka kematian bayi yangmenggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kuba (6 kematian bayiper 1.000 kelahiran hidup) mengungguli AS (7 kematian bayi per 1.000kelahiran hidup).
Kegagalan reformasi kesehatan di banyak negara berkembang sering diakibatkan keterbatasan analisis kebijakan, campur tangan kelewatjauh lembaga internasional yang memaksakan template reformasi yang tidak pas, implementasi yang top-down sehingga tidak mengundang partisipasi dan rasa memiliki pemerintah lokal, dan cenderung tanpakritis meniru model reformasi negara lain.Reformasi kesehatan sejak akhir 1980- an hingga 1990-an didominasi idedesentralisasi, otonomi rumah sakit, kontribusi masyarakat dalam menanggung biaya pelayanan kesehatan, ditambah pertumbuhan sektor swasta dan asuransi kesehatan. Tahun 2000-an masalah reformasi kesehatan kian beragam, kebanyakan bertujuan untuk menjamin keadilandan pemerataan layanan kesehatan dan jaminan universal layanan kesehatan, dengan perhatian khusus keluarga miskin.

Realokasi sumber daya
Setiap reformasi kesehatan meredefinisi peran pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan, pasien, penjamin biaya, dan organisasi lainterkait pelayanan kesehatan. Perubahan dalam sistem jaminan pelayanan yang membebankan biaya kepada pasien setiap kali sakit dapat menimbulkan gejolak setelah mereka menikmati layanan gratis Jamkesmas, meski sebagian di antara mereka tidak tergolong miskin. Sementara itu,banyak orang yang amat miskin tidak mampu mengakses Jamkesmas.Beberapa pemerintah lokal yang mencanangkan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat merasakan guncangan anggaran daerah karena pengeluaran yang tinggi sehingga mengancam kelangsungan program kesehatan dan sektor pembangunan lainnya.
Lima tahun lalu, setelah UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan, akan selalu mewarnai upaya reformasi kesehatan pada masa datang, termasuk bagaimana sejumlah peraturan pemerintahpusat dan daerah harus dikembangkan untuk mendukung implementasi UU itu. Dasar-dasar jaminan universal bagi layanan kesehatan untuk seluruh anak bangsa diletakkan dalam UU No 40/2004. Kita menunggu bagaimana jalur menuju jaminan kesehatan universal dapat dipetakan pemerintah sebagai sarana dialog berkelanjutan sehingga tiap rupiahyang dibelanjakan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.
Alokasi anggaran dan sistem target untuk meminimalkan kesenjangan kesehatan antara individu maupun keluarga di daerah satu dan yang lain merupakan tantangan yang kompleks. Di Kabupaten Bantul, tiap desa yang selama setahun bebas dari kematian ibu, kematian bayi, demam berdarah, dan gizi buruk akan mendapat dana Rp 200 juta. Ini hanya contoh kecil, dibutuhkan kreativitas dalam mengembangkan sistem alokasi anggaran dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Reformasi kesehatan adalah perjalanan menuju kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan, sebagaimana negara lain yang masih terus mempertajam sistem yang selama ini merekaterapkan.