3 Oktober 2009

Gempa Bumi di Tanah Minang

Pendahuluan
Indoneisa sering di timpa musibah bencana alam. Masih terbayang di ingatan kita bagaimana dasyatnya bencana alam di Aceh berupa Tsunami, kemudian di DIY bencana Gempa Bumi, dan di susul daerah lainnya. Dalam tahun ini saja muncul berurutan bencana pengeboman di dua hotel besar, kemudian bencana gempa bumi di Jawa barat yang memakan banyak korban.

Banyak yang mempertanyakan dengan kejadian alam ini, ada apa dengan bumi kita ? jawaban-jawaban dari sekedar asumsi, sampai jawaban yang akademisi banyak diungkapkan oleh berbagai ahli. Para peramal, Tokoh masyarakat, Politisi dan juga akademisi tidak mau ketinggalan. Semuanya tidak dapat menyelesaikan masalah, gempa bumi atau bencana alam tetap saja terus terjadi, bahkan solusi dari penanganan gempa secara ilmiah sampai taubat Nasional sudah pernah juga di publikasikan, namun korban akbitan bencana tidak mengurang, bahkan semakin bertambah, seperti yang terjadi di bumi Padang Sumatra-barat.

Bencana alam ini menyisahkan penderitaan bukan sekedar kehilangan harta benda, saudara sanak famili, tapi penderitaan mental yang entah kapan mengalami proses penyembuhannya. Mereka yang masih hidup pasti mengalami trauma psikis yang tak mudah mereka lupakan atau bahkan menghantui mereka sepanjang hidupnya. Sehingga membutuhkan adaptasi yang cukup panjang bahkan seumur hidup untuk memulihkan trauma psikis tersebut.

Masalah Kesehatan Mental
Bencana alam yang bersifat mendadak dan menelan banyak korban jiwa serta harta benda yang sangat besar selalu diikuti masalah kesehatan mental pada sisa penduduk yang menjadi korban "victims" tetapi selamat. Contoh bencana alam yang besar dan mendadak : tsunami Aceh, Gempa di DIY, Gempa di Tasikmalaya, dan kini gempa di Sumatra barat. Masalah kesehatan mental, akibat "over loaded stresses" setelah adanya bencana adalah : (1) Mental stress, (2)post trauma stress disorder (PTSD: hositility, anxiety, anxiety and depression, (3) PTSD biasa :spt. passive-aggressive reaction, anxietaty reaction, dan lainnya.
Tindakan apa sebaiknya yang diambil ?
  1. Pendekatan "reality therapy"
  2. mereka dibantu untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasarnya, secara realistic (melihat kondisi makro dan mikro yang dihadapi para korban selamat. Kebutuhan dasar menurut Maslaw.
  3. Syaratnya : (1) mereka tidak dianggap pasien. (2) Kita sebagai penolong hanya sederajat, peduli dan "take care each other". (3) harus ada "emotional envolvement". (4) Memperjelas masalah sesuai prioritas dan mendiskusikan/ membantu menyelesaikan masalah tersebut. (5) memperkuat ego dari setiap pasien yang kita bantu supaya segera mampu mandiri : (a) selfidentity (2) reality judgement (3) positive aggressive.
    Dengan demikian proses pemulihan kesehatan mental pada korban bencana dapat berlangsung sealamaiah mungkin.


Layanan Psikologi di Puskesmas

Ada fenomena yang sangat menarik setelah adanya gempa di Jogjakarta, yaitu hampir semua lapisan masyarakat tidak asing, alergi, dan takut dengan kata-kata istilah psikologi dan profesi psikolog. Istilah sangat populer adalah stres dan trauma. Hampir semua orang mengaakui bahwa dirinya trauma dan stres, khususnya berkaitan dengan gempa ini. Bahkan sudah menjadi fenomena universal bahwa siapa saja, kapan saja dan dimana saja merasakan stres dan trauma

Baik individu, kelompok, institusi, dinas/instansi merasa membutuhkan jasa psikolog dan mereka dengan enaknya dan tanpa beban datang ke kampus psikologi, menilpon, mengirimkan faks dan sms meminta untuk minta didatangi oleh relawan psikologi untuk segera ditangani masalah psikologisnya. Di sisi lain tawaran dan permintaan untuk kerjasama dan juga ceramah, pembekalan, pelatihan juga sangat banyak.Ditambah pula fenomena relawan, kelompok masyarakat, partai, NGO, dan lain-lain yang mengaku telah menangani masalah “kesehatan mental (mental health)“ dengan mendirikan posko trauma, melakukan trauma konseling, trauma healing, save the children, children center, child care center (3C), happy center, pendampingan, tombo ati, dolanan anak, TBA (Tempat Bermain Anak), Tebar (Tempat Bermain dan Belajar, sekolah darurat, sekolah tenda, sekolah alternatif, dan lain-lain.

Ini adalah bukti empiris di lapangan yang sangat menggembirakan namun sekaligus menakutkan, artinya apakah psikolog mampu memenuhi harapan masyarakat yang sudah sangat percaya dan membutuhkan ini? Karena jika tidak akan menjadi bumerang bagi para professional kesehatan mental khususnya psikolog.

Darimana sebaiknya dimulai pelayanan psikolog ini? Hal yang paling baik adalah dimulai dari institusi pelayanan kesehatan primer dan mempunyai otoritas, yaitu puskesmas. Puskesmas memiliki otoritas dan tahu betul kondisi wilayahnya; sekaligus membuktikan pendekatan kesehatan secara utuh/kaffah dengan model bio-psiko-sosio/kultural-religius. Kendala yang mungkin terjadi adalah masalah teknis, yaitu ruang untuk konsultasi, tata ruang, blanko pencatatan, petugas pencatatan.Yang tidak kalah penting adalah anggaran yang diperlukan untuk penyelenggaraan pelayanan psikologis seperti ini.

Namun demikian Dinkes Kabupaten Sleman, DIY sudah mampu meyelenggarakan pelayanan psikologis di puskesmas dan merupakan satu-satunya di Indonesia dalam menyediakan psikolog di puskesmas. Sedangkan untuk di Aceh, layanan psikologis bisa terlaksana karena adanya bantuan dana dari LSM Internasional, dan rencana ke depan adalah menyelenggarakan program studi psikologi di Universitas Syah Kuala.
Pada prakteknya di lapangan, diperlukan adanya pendekatan mikro mau pun makro. Pendekatan mikro adalah ketersediaan sumber daya manusia dalam bidang kesehatan mental. Pendekatan makro adalah pendekatan komunitas, sekolah dan media based seperti fungsi edukasi, prevensi, promosi dan rehabilitasi, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan pemerintah.

Yang harus ditindak lanjuti dengan hati-hati adalah saat ini banyak sekali yang mengaku melakukan terapi, konseling, intervensi psikologis untuk penanganan trauma. Oleh karena itu harus dilakukan pemetaan oleh dinas/instansi yang berwenang untuk melakukan evaluasi siapa melakukan apa di mana. Dinas kesehatan bisa bekerjasama dengan PT, Organisasi Profesi dan Organisasi Internasional yang resmi, misal WHO dan UNICEF.

Pada akhirnya, saya mendoakan agar bencana demi bencana dapat menjadikan kita ingat akan kebesaran Allah, dan selalu kuat imannya menghadapi cobaan tersebut. Kita yakin cobaan yang ada dapat dihadapi dengan sabar dan ikhlas, kita tidak bisa menggerutu atau protes kepada sang pencipta alam yang tidak bersahabat, karena sebetulnya bencana yang timbul adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri. Allah selalu mengingatkan dan sayang pada umatnya, agar umatnya selalu ada di jalanNya sehingga dapat selamat hidupnya baik di dunia ataupun di akhirat. Amiiin.