26 Desember 2009

Askeskin, Jamkesmas, dan SJSN

SulastomoMantan Ketua Tim SJSN

Jaminan kesehatan merupakan jaminan sosial pertama yang dibutuhkan manusia. Begitu dilahirkan, jaminan kesehatan telah diperlukan, untuk bayi dan ibunya. Siapa yang harus membiayai jaminan kesehatannya ketika bayi itu dewasa ataupun pada saat sudah purnatugas?Jaminan kesehatan diperlukan sepanjang kehidupan manusia. Kalau aspek pembiayaan tidak terjamin, dampaknya sudah tentu pada status kesejahteraan rakyat. Kematian bayi, kematian ibu yang melahirkan tinggi, dan harapan hidup (life-expectancy) akan rendah. Berikutnya, kualitas hidup manusia (human development index) juga akan buruk. Tahun ini peringkat human development index Indonesia justru merosot menjadi peringkat ke-111 meskipun Askeskin dan Jamkesmas telah diberlakukan.Upaya-upaya untuk dapat memenuhi jaminan kesehatan untuk mencakup semua penduduk (universal coverage) telah banyak diusahakan. Titik tolaknya, antara lain, tergantung bagaimana negara itu memberlakukan jaminan kesehatan bagi rakyatnya.
Apakah ”jaminan kesehatan” diberlakukan sebagai ”hak” setiap warganegara atau ”kewajiban” negara untuk memberikan? Kalau secara filosofis diberlakukan sebagai ”hak”, komitmen negara seharusnya sangat tinggi. Sementara rakyat bisa mempertanyakan, buat apa bernegara kalau negaranya tidak dapat memberikan ”hak”-nya? Meski demikian, bagaimana sebuah negara memenuhi ”hak” rakyatnya tergantung sistem politik/ekonomi yang dianut. Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN), menerapkan prinsip- prinsip social-state model (BismarckModel) dengan mengakomodasi prinsip-prinsip welfare-state model (Beveridge Model), khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, sesuai Pasal 34 UUD 1945. Dalam SJSN diperkenalkan peserta penerima bantuan iuran, di mana iuran jaminan sosialnya dibayar oleh pemerintah. Dengan perkataan lain, jaminan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu diintegrasikan penyelenggaraannya dengan masyarakat yang mampu, agar terjadi subsidi tidak langsung, sehingga program jaminan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu berkelanjutan.

Pendekatan SJSN
Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengurangi peran pemerintah daerah, khususnya daerah yang penerimaan daerahnya kecil dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Dengan pendekatan seperti itu, pemerataan penyelenggaraan jaminan kesehatan dapat terwujud dan berkelanjutan. Diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial agar sumber pendanaannya jelas dan terukur. Bersifat wajib untuk mewujudkan kegotongroyongan dan mencegah terjadinya bias-selection ataupun moralhazard, sehingga pengendalian biaya pelayanan kesehatan terkontrol, sementara biaya operasionalnya rendah.
Selain itu, dalam SJSN juga ditetapkan manfaat (benefit- package) yang jelas, sistem pemberian pelayanan kesehatan dan pembiayaan (deliveryand financing of healthcare), serta standar dan harga obat sehinggabiaya dan kualitas pelayanan kesehatan dapat diprediksi lebih mudah.Hal ini sangat penting bagi kelangsungan program jaminan kesehatan. Semuanya diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan kelayakan program. Hal ini diperlukan agar tujuan pencapaian cakupan menyeluruh (universal coverage) dapat berjalan dengan mulus, tidak banyak mengalami gejolak sosial, sehingga SJSN diterima sebagai sebuah program yang dibutuhkan masyarakat. Karena itu, diperlukan sebuah theroad map yang memaparkan penahapan mewujudkan universal coverage itu dengan memerhatikan perkembangan program jaminan sosial lain, khususnya jaminan pensiun.
Diprediksi bahwa universal coverage jaminan kesehatan akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun, sesuai perkembangan cakupan penyelenggaraan program jaminan pensiun. Bandingkan dengan Korea Selatan, dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil, memerlukan waktu 12 tahun untuk mewujudkan universal coverage. Mungkin bisa dipercepat kalau ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR.

Prospek Askeskin dan Jamkesmas
Program Askeskin dan Jamkesmas serta ”kesehatan gratis” di sejumlah daerah sesungguhnya sudah merupakan upaya untuk perluasan pemberian pelayanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat miskin. Namun,universal coverage masih belum dapat dicapai dengan Askeskin/Jamkesmas. Sebagian besar penduduk yang tidak tercakup program itu, meskipun tidak termasuk masyarakat miskin, masih akan menghadapi biaya kesehatan yang tinggi sehingga bisa berdampak ekonomi keluarga. Sebaliknya, kalau semua biaya kesehatan dibebankan padaAPBN/APBD, bisa menjadi beban yang berat.
Karena itu, dalam pendekatan SJSN diperkenalkan mekanisme asuransi sosial dengan membuka peluang kepesertaan penerimaan bantuan iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, di mana iuran jaminan sosialnya ditanggung oleh negara. Dengan demikian, SJSN diberlakukan bagi masyarakat yang mampu dan yang tidak mampu sehingga kegotongroyongan dan keadilan sosial bisa terwujud. Askeskin/Jamkesmas yang sudah berjalan, dengan demikian, perlu disesuaikan dengan pendekatan SJSN

19 November 2009

Pengobatan Masal

Penyakit kaki gajah yang lama sudah tidak terdengar, kini mulai muncul, bahkan tidak tanggung-tanggung 25 propinsi dimungkinkan akan mengalami endmi filariasis. Kemunculannya mengagetkan di Jawa barat karena beberapa orang mengalami korban akibat minum obat tesebut, sehingga mengundang YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ) mulai angkat bicara, agar pengobatan masal Depkes dihentikan sebelum ditemukan secara empiris akibat meninggalnya masyarakat tersebut. Demikian pula dengan Komisi IX DPR RI, meminta pengobatan massal penyakit kaki gajah (filariasis) di Kab. Bandung ditunda. Hal tersebut
disebabkan kasus efek samping yang menimpa 1.145 warga Kab. Bandung dinilai telah meresahkan masyarakat. "Karena isu ini meresahkan, sebaiknya ditunda saja sampai kita semua
benar-benar yakin. Jangan sampai ada pernyataan obat ini aman dikonsumsi, tetapi ternyata ada warga yang mengeluh tentang efek sampingnya,"

Menkes RI yang baru menyampaikan agar pengobatan masal terus di lanjutkan dan dalam komentarnya ia mengatakan bahwa "Kita tetap melanjutkan. Anda bisa bayangkan, kalau sampai ini dihentikan, berapa banyak yang akan cacat seumur hidup dan tertular filariasis karenanya." Seakan pengobatan ini mereupakan cara yang ampuh untuk menangulangi penyakit yang dibawa oleh nyamuk tersebut.

Menurut Adi Sasongko, Orang yang mengidap mikro filaria dalam tubuhnya memang harus minum obat. Pertanyaannya: dari puluhan/ratusan ribu orang yang diwajibkan minum obat berapa persen yang sesungguhnya mengidap mikro filaria? Pertanyaan ini mengajak kita untuk berpikir seberapa besar efektifitas pengobatan ini, bahkan beliau juga menyatakan "Harus diingat bahwa minum obat DEC tidak akan mencegah terjadinya infeksi jika nyamuk yang menyebarkan mikro filaria ini tetap bergentayangan dimana-mana."

Pernyataan diatas mengingatkan kita akan wabah DBD, cara yang ampuh mengatasi nyamuk Aides Agiphty adalah dengan penyemprotan (Foging) namun cara ini pun tidak efektif, karena penyemprotan hanya sehari menghilangkan nyamuk tersebut dengan diameter 100 M. Tapi cara ini oleh Masyarakat dan Aparat pemerintah Daerah menjadikan obat mujarab guna membasmi Nyamuk pembawa wabah tersebut.

Gaya penanggulangan masalah filaria dengan cara pengobatan massal seperti ini sudah dijadikan andalan utama selama belasan/puluhan tahun. Jika cara ini memang efektif maka sudah lama masalah filaria ini sudah bisa dikendalikan. Faktanya? Setelah bertahun-tahun melakukan pengobatan massal justru peta daerah penyebaran filaria semakin meluas. Seharusnya fakta ini mendorong kita untuk membuat evaluasi secara serius tentang efektivitas pengobatan masal bukan malah latah mengulang-ulang terus hal yang sama.
Gaya penanganan masalah seperti ini memang memperlihatkan bahwa masih banyak diantara kita memilih cara yang gampang bukan cara yang benar. Membagi-bagi obat secara massal tanpa pandang bulu adalah cara yang gampang. Masalahnya apakah cara ini betul-betul menyelesaikan masalah?

Cara yang benar adalah melakukan upaya yang komprehensif. Bukan hanya sekedar membagi-bagi obat secara massal tetapi harus disertai upaya massif menanggulangi masalah lingkungan yang menjadi sumber perkembangan nyamuk penyebar mikro filaria. Pada saat yang sama perlu dilakukan upaya edukasi secara efektif pada masyarakat agar mereka memahami masalah ini dan tergerak untuk melakukan upaya penanggulangan.

Apakah ini sudah dilakukan? Yang baru akan dilakukan oleh Menkes, Pemerintah akan lebih berhati-hati melakukan prosedur pencegahan penularan cacing filaria itu dengan memperbaiki sosialisasi program dan memperbanyak pelatihan bagi tenaga kesehatan dan kader kesehatan.
Perbaikan program mudah-mudahan menyangkut program penanggulangan lingkungan, disini Depkes tidak dapat bekerja sendiri, tapi melibatkan departemen Lingkungan hidup, tata kota, Depatemen Pendidikan, bahkan kepolisian bila perlu, dalam pengelolaan lingkungan supaya bebas dari nyamuk pembawa filariasis.
JIka kita ingin menanggulangi masalah filariasis maka jelas harus ada upaya masif untuk membenahi lingkungan untuk membasmi nyamuk penyebar mikro filaria.

12 November 2009

Reformasi Kesehatan

By : Hari Kusnanto
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM

Kata ”reformasi kesehatan” muncul dari Menteri Kesehatan yang barudengan berbagai program dan energi yang membayang di belakangnya. Semua negara di dunia mengamini ”reformasi kesehatan” meskimemaknainya secara berbeda-beda. Hiruk pikuk reformasi kesehatan diAmerika Serikat pada bulan-bulan pertama pemerintahan Barack Obama menegaskan, reformasi kesehatan adalah belantara yang belum terpetakan.

Memaknai reformasi kesehatan
Rancangan reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakatabai terhadap tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana pemerintah untuk pengobatanadalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait kebiasaan merokokaktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di rumah yangdipenuhi kepulan asap rokok.
Reformasi kesehatan di perkotaan tidak bisa membiarkan masyarakat bertoleransi atas kehadiran nyamuk Aedes aegypti (penyebab penyakitdemam berdarah), tanpa mencari tahu di mana tempat perindukannya danberusaha memusnahkannya. Reformasi kesehatan yang menempatkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya sebagai tempat pengobatan PUSing, KESeleo, danMASuk angin. Puskesmas di daerah endemik malaria harus mampu mendiagnosis malaria dan mengobati secara tepat. Perlu lebih banyak puskesmas yang mampu mendiagnosis tuberkulosis dan tuntas mengobatinya hingga sembuh. Banyak penderita penyakit kronik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, dapat dilayani dengan baik di puskesmas. Kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu disertaisistem kompensasi layak berbasis kinerja yang berhasil dicapai.

Kegiatan luar gedung
Dalam debat calon wakil presiden, Boediono menggambarkan reformasi kesehatan sebagai peningkatan kegiatan luar gedung. Ini mirip paradokter Kuba yang bekerja di Timor Leste saat ini. Mereka memilikideterminasi kuat untuk mengunjungi rumah penduduk, khususnya di daerah terpencil, sehingga dapat menularkan pengetahuan dan perilaku sehat kepada masyarakat. Bukan kebetulan, angka kematian bayi yangmenggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kuba (6 kematian bayiper 1.000 kelahiran hidup) mengungguli AS (7 kematian bayi per 1.000kelahiran hidup).
Kegagalan reformasi kesehatan di banyak negara berkembang sering diakibatkan keterbatasan analisis kebijakan, campur tangan kelewatjauh lembaga internasional yang memaksakan template reformasi yang tidak pas, implementasi yang top-down sehingga tidak mengundang partisipasi dan rasa memiliki pemerintah lokal, dan cenderung tanpakritis meniru model reformasi negara lain.Reformasi kesehatan sejak akhir 1980- an hingga 1990-an didominasi idedesentralisasi, otonomi rumah sakit, kontribusi masyarakat dalam menanggung biaya pelayanan kesehatan, ditambah pertumbuhan sektor swasta dan asuransi kesehatan. Tahun 2000-an masalah reformasi kesehatan kian beragam, kebanyakan bertujuan untuk menjamin keadilandan pemerataan layanan kesehatan dan jaminan universal layanan kesehatan, dengan perhatian khusus keluarga miskin.

Realokasi sumber daya
Setiap reformasi kesehatan meredefinisi peran pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan, pasien, penjamin biaya, dan organisasi lainterkait pelayanan kesehatan. Perubahan dalam sistem jaminan pelayanan yang membebankan biaya kepada pasien setiap kali sakit dapat menimbulkan gejolak setelah mereka menikmati layanan gratis Jamkesmas, meski sebagian di antara mereka tidak tergolong miskin. Sementara itu,banyak orang yang amat miskin tidak mampu mengakses Jamkesmas.Beberapa pemerintah lokal yang mencanangkan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat merasakan guncangan anggaran daerah karena pengeluaran yang tinggi sehingga mengancam kelangsungan program kesehatan dan sektor pembangunan lainnya.
Lima tahun lalu, setelah UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan, akan selalu mewarnai upaya reformasi kesehatan pada masa datang, termasuk bagaimana sejumlah peraturan pemerintahpusat dan daerah harus dikembangkan untuk mendukung implementasi UU itu. Dasar-dasar jaminan universal bagi layanan kesehatan untuk seluruh anak bangsa diletakkan dalam UU No 40/2004. Kita menunggu bagaimana jalur menuju jaminan kesehatan universal dapat dipetakan pemerintah sebagai sarana dialog berkelanjutan sehingga tiap rupiahyang dibelanjakan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.
Alokasi anggaran dan sistem target untuk meminimalkan kesenjangan kesehatan antara individu maupun keluarga di daerah satu dan yang lain merupakan tantangan yang kompleks. Di Kabupaten Bantul, tiap desa yang selama setahun bebas dari kematian ibu, kematian bayi, demam berdarah, dan gizi buruk akan mendapat dana Rp 200 juta. Ini hanya contoh kecil, dibutuhkan kreativitas dalam mengembangkan sistem alokasi anggaran dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Reformasi kesehatan adalah perjalanan menuju kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan, sebagaimana negara lain yang masih terus mempertajam sistem yang selama ini merekaterapkan.

3 Oktober 2009

Gempa Bumi di Tanah Minang

Pendahuluan
Indoneisa sering di timpa musibah bencana alam. Masih terbayang di ingatan kita bagaimana dasyatnya bencana alam di Aceh berupa Tsunami, kemudian di DIY bencana Gempa Bumi, dan di susul daerah lainnya. Dalam tahun ini saja muncul berurutan bencana pengeboman di dua hotel besar, kemudian bencana gempa bumi di Jawa barat yang memakan banyak korban.

Banyak yang mempertanyakan dengan kejadian alam ini, ada apa dengan bumi kita ? jawaban-jawaban dari sekedar asumsi, sampai jawaban yang akademisi banyak diungkapkan oleh berbagai ahli. Para peramal, Tokoh masyarakat, Politisi dan juga akademisi tidak mau ketinggalan. Semuanya tidak dapat menyelesaikan masalah, gempa bumi atau bencana alam tetap saja terus terjadi, bahkan solusi dari penanganan gempa secara ilmiah sampai taubat Nasional sudah pernah juga di publikasikan, namun korban akbitan bencana tidak mengurang, bahkan semakin bertambah, seperti yang terjadi di bumi Padang Sumatra-barat.

Bencana alam ini menyisahkan penderitaan bukan sekedar kehilangan harta benda, saudara sanak famili, tapi penderitaan mental yang entah kapan mengalami proses penyembuhannya. Mereka yang masih hidup pasti mengalami trauma psikis yang tak mudah mereka lupakan atau bahkan menghantui mereka sepanjang hidupnya. Sehingga membutuhkan adaptasi yang cukup panjang bahkan seumur hidup untuk memulihkan trauma psikis tersebut.

Masalah Kesehatan Mental
Bencana alam yang bersifat mendadak dan menelan banyak korban jiwa serta harta benda yang sangat besar selalu diikuti masalah kesehatan mental pada sisa penduduk yang menjadi korban "victims" tetapi selamat. Contoh bencana alam yang besar dan mendadak : tsunami Aceh, Gempa di DIY, Gempa di Tasikmalaya, dan kini gempa di Sumatra barat. Masalah kesehatan mental, akibat "over loaded stresses" setelah adanya bencana adalah : (1) Mental stress, (2)post trauma stress disorder (PTSD: hositility, anxiety, anxiety and depression, (3) PTSD biasa :spt. passive-aggressive reaction, anxietaty reaction, dan lainnya.
Tindakan apa sebaiknya yang diambil ?
  1. Pendekatan "reality therapy"
  2. mereka dibantu untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasarnya, secara realistic (melihat kondisi makro dan mikro yang dihadapi para korban selamat. Kebutuhan dasar menurut Maslaw.
  3. Syaratnya : (1) mereka tidak dianggap pasien. (2) Kita sebagai penolong hanya sederajat, peduli dan "take care each other". (3) harus ada "emotional envolvement". (4) Memperjelas masalah sesuai prioritas dan mendiskusikan/ membantu menyelesaikan masalah tersebut. (5) memperkuat ego dari setiap pasien yang kita bantu supaya segera mampu mandiri : (a) selfidentity (2) reality judgement (3) positive aggressive.
    Dengan demikian proses pemulihan kesehatan mental pada korban bencana dapat berlangsung sealamaiah mungkin.


Layanan Psikologi di Puskesmas

Ada fenomena yang sangat menarik setelah adanya gempa di Jogjakarta, yaitu hampir semua lapisan masyarakat tidak asing, alergi, dan takut dengan kata-kata istilah psikologi dan profesi psikolog. Istilah sangat populer adalah stres dan trauma. Hampir semua orang mengaakui bahwa dirinya trauma dan stres, khususnya berkaitan dengan gempa ini. Bahkan sudah menjadi fenomena universal bahwa siapa saja, kapan saja dan dimana saja merasakan stres dan trauma

Baik individu, kelompok, institusi, dinas/instansi merasa membutuhkan jasa psikolog dan mereka dengan enaknya dan tanpa beban datang ke kampus psikologi, menilpon, mengirimkan faks dan sms meminta untuk minta didatangi oleh relawan psikologi untuk segera ditangani masalah psikologisnya. Di sisi lain tawaran dan permintaan untuk kerjasama dan juga ceramah, pembekalan, pelatihan juga sangat banyak.Ditambah pula fenomena relawan, kelompok masyarakat, partai, NGO, dan lain-lain yang mengaku telah menangani masalah “kesehatan mental (mental health)“ dengan mendirikan posko trauma, melakukan trauma konseling, trauma healing, save the children, children center, child care center (3C), happy center, pendampingan, tombo ati, dolanan anak, TBA (Tempat Bermain Anak), Tebar (Tempat Bermain dan Belajar, sekolah darurat, sekolah tenda, sekolah alternatif, dan lain-lain.

Ini adalah bukti empiris di lapangan yang sangat menggembirakan namun sekaligus menakutkan, artinya apakah psikolog mampu memenuhi harapan masyarakat yang sudah sangat percaya dan membutuhkan ini? Karena jika tidak akan menjadi bumerang bagi para professional kesehatan mental khususnya psikolog.

Darimana sebaiknya dimulai pelayanan psikolog ini? Hal yang paling baik adalah dimulai dari institusi pelayanan kesehatan primer dan mempunyai otoritas, yaitu puskesmas. Puskesmas memiliki otoritas dan tahu betul kondisi wilayahnya; sekaligus membuktikan pendekatan kesehatan secara utuh/kaffah dengan model bio-psiko-sosio/kultural-religius. Kendala yang mungkin terjadi adalah masalah teknis, yaitu ruang untuk konsultasi, tata ruang, blanko pencatatan, petugas pencatatan.Yang tidak kalah penting adalah anggaran yang diperlukan untuk penyelenggaraan pelayanan psikologis seperti ini.

Namun demikian Dinkes Kabupaten Sleman, DIY sudah mampu meyelenggarakan pelayanan psikologis di puskesmas dan merupakan satu-satunya di Indonesia dalam menyediakan psikolog di puskesmas. Sedangkan untuk di Aceh, layanan psikologis bisa terlaksana karena adanya bantuan dana dari LSM Internasional, dan rencana ke depan adalah menyelenggarakan program studi psikologi di Universitas Syah Kuala.
Pada prakteknya di lapangan, diperlukan adanya pendekatan mikro mau pun makro. Pendekatan mikro adalah ketersediaan sumber daya manusia dalam bidang kesehatan mental. Pendekatan makro adalah pendekatan komunitas, sekolah dan media based seperti fungsi edukasi, prevensi, promosi dan rehabilitasi, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan pemerintah.

Yang harus ditindak lanjuti dengan hati-hati adalah saat ini banyak sekali yang mengaku melakukan terapi, konseling, intervensi psikologis untuk penanganan trauma. Oleh karena itu harus dilakukan pemetaan oleh dinas/instansi yang berwenang untuk melakukan evaluasi siapa melakukan apa di mana. Dinas kesehatan bisa bekerjasama dengan PT, Organisasi Profesi dan Organisasi Internasional yang resmi, misal WHO dan UNICEF.

Pada akhirnya, saya mendoakan agar bencana demi bencana dapat menjadikan kita ingat akan kebesaran Allah, dan selalu kuat imannya menghadapi cobaan tersebut. Kita yakin cobaan yang ada dapat dihadapi dengan sabar dan ikhlas, kita tidak bisa menggerutu atau protes kepada sang pencipta alam yang tidak bersahabat, karena sebetulnya bencana yang timbul adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri. Allah selalu mengingatkan dan sayang pada umatnya, agar umatnya selalu ada di jalanNya sehingga dapat selamat hidupnya baik di dunia ataupun di akhirat. Amiiin.

29 Agustus 2009

WHO Issues Guidelines for Antiviral Treatment for H1N1 and Other Influenza

Laurie Barclay, MD

Authors and Disclosures

August 25, 2009 — The World Health Organization (WHO) has issued guidelines for antiviral treatment for novel influenza A (H1N1) and other influenza. The purpose of the new recommendations, which were posted online August 20, is to provide a basis for advice to clinicians regarding the use of the currently available antivirals for patients presenting with illness caused by influenza virus infection, as well as considerations regarding potential use of these antiviral medications for chemoprophylaxis.

On the basis of a review of data collected with previously circulating strains, and treatment of human H5N1 influenza virus infections, the new guidelines expand on recommendations published in May 2009, titled ʺClinical management of human infection with new influenza A (H1N1) virus: Initial guidance." These new guidelines do not change recommendations in the WHO rapid advice guidelines on pharmacological management of humans infected with highly pathogenic avian influenza A (H5N1) virus.

"In April 2009, the [WHO] received reports of sustained person to person infections with [H1N1] virus in Mexico and the United States," write Edgar Bautista, from Médico Neumólogo Intensivista, Jefe de UCI-INER in Mexico, and colleagues. "Subsequent international spread led WHO to declare on 11 June 2009 that the first influenza pandemic in 41 years had occurred. This 2009 pandemic H1N1 influenza virus has now spread worldwide, with confirmed cases of pandemic H1N1 virus infection reported in more than 100 countries in all 6 WHO regions[, which] has led to the need to add to the existing guidance on the use of antivirals."

The new recommendations highlight oseltamivir and zanamivir, which are neuraminidase inhibitors, and amantadine and rimantadine, which are M2 inhibitors. Suggestions are also provided regarding the use of some other potential pharmacological treatments, such as ribavirin, interferons, immunoglobulins, and corticosteroids.

Management of patients with pandemic influenza (H1N1) 2009 virus infection is the primary focus of the statement, although it also includes guidance regarding the use of the antivirals for treatment of other seasonal influenza virus strains, as well as for infections resulting from novel influenza A virus strains.

The guidelines urge country and local public health authorities to issue local recommendations for clinicians periodically, based on epidemiological and antiviral susceptibility data on the locally circulating influenza strains. As the prevalence and severity of the current pandemic evolves, WHO anticipates that additional data will be forthcoming that may require revision of the current recommendations. WHO therefore plans to review the guidance no later than September 2009 to determine whether modifications to the recommendations are needed.

Recommendations for Antiviral Treatment of H1N1

For patients with confirmed or strongly suspected infection with influenza pandemic (H1N1) 2009, when antiviral medications for influenza are available, specific recommendations regarding use of antivirals for treatment of pandemic (H1N1) 2009 influenza virus infection are as follows:

* Oseltamivir should be prescribed, and treatment started as soon as possible, for patients with severe or progressive clinical illness (strong recommendation, low-quality evidence). Depending on clinical response, higher doses of up to 150 mg twice daily and longer duration of treatment may be indicated. This recommendation is intended for all patient groups, including pregnant women, neonates, and children younger than 5 years of age.
* Zanamivir is indicated for patients with severe or progressive clinical illness when oseltamivir is not available or not possible to use, or when the virus is resistant to oseltamivir but known or likely to be susceptible to zanamivir (strong recommendation, very low quality evidence).
* Antiviral treatment is not required in patients not in at-risk groups who have uncomplicated illness caused by confirmed or strongly suspected influenza virus infection (weak recommendation, low-quality evidence). Patients considered to be at risk are infants and children younger than 5 years of age; adults older than 65 years of age; nursing home residents; pregnant women; patients with chronic comorbid disease including cardiovascular, respiratory, or liver disease and diabetes; and immunosuppressed patients because of malignancy, HIV infection, or other diseases.
* Oseltamivir or zanamivir treatment should be started as soon as possible after the onset of illness in patients in at-risk groups who have uncomplicated illness caused by influenza virus infection (strong recommendation, very low quality evidence).

Recommendations for Chemoprophylaxis of H1N1

Specific recommendations regarding the use of antivirals for chemoprophylaxis of pandemic (H1N1) 2009 influenza virus infection are as follows:

* When risk for human-to-human transmission of influenza is high or low, and the probability of complications of infection is high, either because of the influenza strain or because of the baseline risk of the exposed group, use of oseltamivir or zanamivir may be considered as postexposure chemoprophylaxis for the affected community or group, for individuals in at-risk groups, or for healthcare workers (weak recommendation, moderate-quality evidence).
* Individuals in at-risk groups or healthcare personnel need not be offered antiviral chemoprophylaxis if the likelihood of complications of infection is low. This recommendation should be applied independent of risk for human-to-human transmission (weak recommendation, low-quality evidence).

For treatment of mild to moderate uncomplicated clinical presentation of infection with multiple cocirculating influenza A subtypes or viruses with different antiviral susceptibilities, patients in at-risk groups should be treated with zanamivir or oseltamivir plus M2 inhibitor (noting that amantadine should not be used in pregnant women). Otherwise-healthy patients with this presentation need not be treated.

When the clinical presentation of infection with multiple cocirculating influenza A subtypes or viruses with different antiviral susceptibilities is severe or progressive, all patients should be treated with oseltamivir plus M2 inhibitor, or zanamivir.

For treatment of mild to moderate uncomplicated clinical presentation of infection with sporadic zoonotic influenza A viruses including H5N1, the at-risk population should be treated with oseltamivir or zanamivir, and the otherwise-healthy population with oseltamivir. All patients, regardless of risk status, with severe or progressive presentation of infection with sporadic zoonotic influenza A viruses including H5N1 should be treated with oseltamivir plus an M2 inhibitor.

WHO Rapid Advice Guidelines on Pharmacological Management of Influenza Virus. Published online August 20, 2009.

10 Agustus 2009

Pandemic H1N1 (from Edhie S.)

The pandemic in a nutshell[1]:
The epidemiology: In 4 months of the pandemic it has spread to 168 countries, there are 160,000 confirmed cases and 1000 deaths, half of theml in the 25-50 age period. A CDC modelling - http://www.cdc. gov/H1N1flu/ surveillanceqa. htm - estimates 20 infected (most asymptomatic or very mild) cases per confirmed case, so in the US the case fatality rate is of approximately of 0,3 per thousand. The doubling rate is every three days but it's not clear how long and recurrent are the epidemic curves once a community is infected and transmission conditions exist (influenza seasonal outbreaks are normally 2-3 months). Higher risk groups are under 5s, pregnant women, health workers, patients suffering from chronic conditions and remote populations (less immunity to related strains).
Diagnosis/Monitorin g: recently, WHO has changed the guidance on reporting and given the magnitude, is not following on clab-confirmed cases but on clinical criteria. It will be difficult to have specific information as most cases are mild and recover without treatment.
Case management: besides the supportive treatment with oxygen and the complications' treatment with corticoids and antibiotics; H1N1 viruses are currently susceptible to the neuraminidase inhibitors oral oseltamivir (although there are some recent cases of resistance) and inhaled zanamivir. Clinical efficacy data are not yet available. WHO only guides that antiviral therapy may be beneficial for pregnant patients, patients with pneumonia and patients with underlying medical conditions.
The vaccine: The vaccine usable to immunize people, from one or more manufacturers is expected as next September. Production of seasonal influenza vaccines has been completed and full industrial production capacity is available for supply of pandemic vaccine in the months to come. There are currently around twenty vaccine manufacturers (70% production capacity in the EU and US) with licenses to produce seasonal influenza vaccines. The production capacity estimates are from 1 to 4.9 billion in 12 months. It is not yet clear it is determined whether one or two doses of the vaccine will be needed to achieve protection.. The indications are being discussed by the Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) on Immunization and so far have recommended that health care workers worldwide should be immunized as a first and that national authorities will identify priority groups for vaccination based on circumstances within the country. WHO is discussing with the industry and with developed countries the challenge to allocate a share through donations or tiered prices to developing countries. There is no mechanism in place for global supply and distribution.
The main questions which await an answer:
1. What are the real magnitude and the distribution of the problem? In public health terms we need incidence (not known, although if applied globally, the CDC modelling would mean a global rate in the region on 3 million people. Africa , the worst-off region in health capacities and overall indicators, has only reported 200 cases with no deaths, but the underestimate might be greater in countries with poorer epidemiological surveillance structures.
The Influenza A pandemic is probably not a public health priority in sub-Saharan Africa : Even if half the population would be infected in the first and second seasonal waves of the pandemic (WHO estimates : given the estimated case fatality rate, the overall mortality in Africa, would be 90,000 deaths, possibly twice if under-nutrition is proven a mortality risk factor. Even in that range, the number of premature deaths would only be 15 times lower than from ARIs (acute respiratory infections), to which treatment only 40% of children have access to. Therefore, significant investments in responding to this health challenge should be weighed against other greater unmet health needs.
2. What is the adequate response? It seems that laboratory confirmation, neither for clinical management nor for monitoring/reportin g purposes is now essential. Case management is as in acute respiratory infections (ARIs) and –as mentioned earlier- the basic treatment for ARIs has a low accessibility, not to mention the recommendations of oxygen and steroids for complicated cases as recommended by WHO. The efficacy of antiviral therapy is still unclear, while some resistances are developing. In the seasonal flu logic, the vaccine will be safe and have 70-90% effectiveness in prevention rate, probably half in patients with risk factors (lower immune capacity). It is neither clear how many doses will be needed. At a current price of €10/vaccine (recent estimates of French 94 m doses order), with an average 70% effectiveness rate, the age groups affected, and targeting (as most countries in Europe are considering) under 5s, pregnant women health workers and chronically ill patients (possibly including HIV infected persons) –total 30% of the population-, the investment needed, only considering the vaccine costs (2 vaccines/person in those groups), would be € 1,8 b with a cost-utility (healthy life year saved) of €1800/DALY, some 36 times higher (more costly, less efficient) then many uncovered priority interventions such as bed nets, micronutrients, de-worming, EPI vaccines, ORS or even access to integrated IMCI (Integrated Management of Childhood Illnesses –mentioned as unmet priority in the Agenda for Action on MDGs- including ARIs.
The potential effective intervention is vaccination but the modelling shows its efficiency would probably be low : With the current epidemiological, clinical and therapeutic information (still missing clear guidance from WHO), the main needs would be to strengthen the access, diagnosis and adequate treatment of ARIs, within the wider integrated approaches of IMCI and IMAIs (Integrated Management of Childhood and Adult Illnesses) through the aligned and integrated support of health systems. With the present data, the efficiency of vaccine campaigns or integrated in routine services would be (only considering vaccine costs) low and would bear a high opportunity- cost.. Price reductions would of course increase efficiency but it would still need to be weighed against other unmet needs of populations.
3. What is the current and vs. the optimal process? At present, WHO is gathering epidemiological data and scientific evidence, but on the protocol and recommendations there are yet not very clear and concrete decisions (anti-virals to who, vaccines to who, how many and when) and some countries are going ahead with decisions (such as risk groups eligible for vaccination) . The support to countries is envisaged through the WHO Influenza A (H1N1) Global Pandemic Response Plan and the WHO Pandemic Pharmaceutical Facility which is still lack detailed information on costing/priorities/ procedures. One very important issue is how the vaccine stocks made available for solidarity with developing countries, will be pooled and channelled. Meanwhile, developed countries are in direct and confidential negotiations with the vaccine and antiviral producers semi-monopolizing the potential global production capacity. The equity check of this market dynamics are non-binding statements by some Pharma and developed countries of 10% donations to developing countries (with no fiscal space to address the pandemic and many other health needs' constrains), where most of the burden of disease will take place. In terms of the Pharma discovery and production, patent-holders are already challenges by lower prices by generics in India ( Roche's€ 40/ dose of 10 capsules vs. Cipla's € 15) and low middle-income have requested application of TRIPS flexibilities (and Argentiba and Brazil offering genric production capacity) considering Pandemic Flu vaccines and treatments as "global public goods" with the goal to "achieve coverage for the entire population.
WHO should continue its normative role and possibly be more concrete on recommendations, even if adjustable to country context, for vaccine and treatment protocols, despite of the uncertainty grounds. This decisions, together with epidemiological modeling would enable some costing of the response plans built on the IHR commitments and previous preparedness plans for avian flu, even if it could show (as suggested above) a low efficiency in the context of all health challenges in developing countries. If for the purpose of global control of the pandemic, support to developing countries is part of a global response with global benefit, then funding should come from additional sources then development funds and global health principles of transparency, equity and global governance should apply. A vaccine fund as the 2003 fund for meningitis vaccine, could enable equitable distribution of per countries.

25 Juli 2009

Perawat Puskesmas antara Kebijakan dan Praktik perawatan

Pengalaman seminggu ini mengajak saya untuk menulis Perawat Puskesmas antara Kebijakan dan Praktik, setelah melihat realita pelayanan dan kondisi kesehatan masyarakat di lapangan. Banyaknya Program Puskesmas menjadikan pertanyaan saya. Apa yang sudah di perbuat ? Apalagi teringat kawan saya seorang Perawat di Puskesmas yang mengatakan bahwa tugas pencapaian target dalam program, membebankanya untuk melaksankaan praktik sebagai seorang perawat.
Penulis mencoba mengungkapkan pendapat bahwa ternyata tenaga perawat di Puskesmas sebetulnya melakukan tugas yang tidak sesuai dengan bidangnya, ada perbedaan antara teori dan praktik perawatan di Puskesmas, seperti yang diungkapkan rekan saya diatas.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indoneisa di kenal dengan UUK No. 23 tahun 1992yang diberlakukan. Istilah Perawat tidak tersirat dalam undang-undang tersebut, dan muncul kata ’tenaga kesehatan’ sebagai mana yang tertulis pada bab 1
”setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu melakukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.
Dari kalimat diatas tidak tegas kewenangan apa yang dimiliki seorang perawat, kemudian dalam Kepmenkes 1239 tahun 2001 pada bab 4 (15) disebutkan bahwa kewenangan perawat untuk
”...melaksanakan asuhan keperawatan ...” pada poin lain disebutkan juga bahwa
”...pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter.”
Inilah sebagai alasan kenapa pendapat penulis tentang tugas perawat puskesmas yang tidak sesuai. Tugas kuratif perawat mestinya diberikan dalam kondisi darurat, dalam situasi gawat darurat perawat dapat memberikan pertolongan pertama jika dokter tidak ditempat.

Menurut buku Pedoman Depkes (1990) dan sesuai dengan petunjuk Badan Kesehatan Dunia (WHO), tugas perawat dibagi dalam empat macam : (1) tugas administratif, (2) tugas edukatif, (3) tugas promotif, (4) tugas eksekutif. Tugas administratif sangat banyak menyita waktu bagi perawat puskesmas, karena tugas ini digunakan untuk keperluan puskesmas dan angka kridit. Tugas edukatif berkaitan dengan penyuluhan kesehatan dan tugas ini berkaitan dengan tugas promotif. Kemudian penulis mencoba menanyakan kepada Masyarakat tentang tugas tersebut, menurut masayarakat petugas puskesmas sangat jarang berkunjung kalaupun ada ketika keluarga mempunyai masalah kesehatan seperti anggota keluarga mengalami gizi buruk atau penderita TB, berarti tugas ini lebih untuk memberikan laporan dan kuratif dibanding upaya promotif. Kenapa demikian ? Penulis juga menanyakan kepada petugas kesehatan: menurut perawat puskesmas perbandingan Masyarakat dengan petugas kesehatan(perawat) tidak seimbang. Perbandingan perawat dengan masyarakat sekitar kurang dari 40/100.000 penduduk, (hitungan penulis) ditambah kesibukan laporan yang notabennya adalah tugas administratif. Tugas eksekutif adalah melakukan perawatan kesehatan masyarakat yaitu melakukan kunjungan rumah untuk memberikan penyuluhan pada pasien dan keluarga.

Seminggu ini saya lihat Perawat puskesmas biasanya aktif dalam BP, puskesmas keliling, dan puskesmas pembantu. Jelas dalam tugas tersebut perawat ,melakukan pemeriksaan pasien, mendiagnosa pasien, melakukan pengobatan pada pasien dengan membuat resep pada pasien. Dan ketika melakukan tugas tersebut dalam satu mingggu ini tidak ada supervisi dari siapapun, khususnya penanggung jawab dalam tindakan pengobatan / medis. Kenapa demikaian ? apakah dokter puskesmas tidak ada ?
Tenaga perawat seolah-olah tidak menghargai kegiatan-kegitan formalnya sendiri, karena mungkin tugas kuratif lebih penting. Hal ini berdampak kepada status kesehatan masyarakat, status gizi, penyakit infeksi menular dan mungkin upaya kesehatan ibu dan anak tidak mendapatkan porsi yang sesuai sehingga berdampak pada kondisi kesehatan masyarakat.
Kalaulah memang tugas tenaga kesehatan di Puskesmas lebih banyak ke arah kuratif, maka Puskesmas menjadi unit dari pelayanan Rumah sakit. Karena rumah sakit akan memiliki banyak sumberdaya manusia dan fasilitas medik. Tapi kalaulah Puskesmas ini menjadi lebih dominan dalam tugas promotif dan preventif maka tugas eksekutif bagi perawat harus-lah di giatkan, dan puskesmas menjadi bagian dari unit Dinas kesehatan, atau bagian tersendiri yang memiliki otonomi yang kuat dalam mengatur program-programnya sedang Dinas kesehatan hanya sebagai regulator, pemberi dana dan pengadaan petugas, untuk pelayanan kesehatan masyarakat diberikan kepada Puskesmas, atau pelayanan kesehatan dapat di tenderkan kepada pihak swasta.

Tenaga Perawat mestinya berani menunjukan eksistensinya secara formal dalam mengerjakan tugas pelayanan kesehehatan masyarakat, yang pada akhirnya masyarakat bawah yang sangat membutuhkan informasi dan advokasi kesehatan dapat dipenuhi. Kalau tugas ini dapat dilakukan oleh perawat sesuai dengan kewenangannya, saya yakin upaya kesehatan akan terpenuhi sampai ke tingkat bawah, dan masyarakat akan memberi kepercayaan pada petugas kesehatan sehingga ia akan berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan, karena ada penggerak untuk upaya-upaya kesehatan masyarakat.Dan saya yakin juga peogram desasiaga mestinya sudah berjlan sejak dulu kalau memang peran perawat secara formal di jalankan. Kalaupun ada program ini (desa siaga) mestinya yang dikedepankan adalah perawat bukan petugas kesehatan yang lain.

8 Juli 2009

Politik dan Kesehatan

Sebetulnya dua kata ini dalam upaya kesehatan masyarakat sangatlah penting, namun pada kampanye Pilpres kemarin, dua kata ini merupakan kata yang tersusun jauh dan tidak ada korelasinya. Sebuah bukti menunjukan di dalam setiap kampanye Capres atau cawapres jarang mengungkapkan issu-issu kesehatan sebagai upaya strategis untuk menarik masyarakat, kalaupun ada di dalam setiap kampanyenya hanya menyinggung kurang dari 10%. Sedang yang menjadi panglima issu Kampanye capres/cawapres adalah Ekonomi, pendidikan, hankam dan ketatanegaraan.

Pada satu debat cawapres tentang kesehatan dalam penayangan TV swasta, penilaian debat tersebut: Cawapres hampir semuanya tidak memahami kondisi kesehatan di Negara ini. Justru debat yang sangat menarik dan panas adanya di group milis, yang memperdebatkan posisi Menkes RI, bahakan seolah Capres/cawapres tidak begitu penting karena siapapun Persidennya kalau menkesnya tidak menguasai kondisi kesehatan di Indoneisa maka status kesehatan di Negeri ini tidak akan mengalami kemajuan.Konon menurut diskusi dalam group milis tersebut.

Lalu apa sebetulnya makna dari kedua kata tersebut diatas ? Sejarah menunjukan bahwa aksi kesehatan masyarakat pada hakekatnya adalah ekspresi dari sebuah idiologi politik. Dalam teori kesehatan, determinasi utama penentuan derajat kesehatan bersumber kepada masalah-masalah hulu. Kesehatan sendiri adalah masalah hilir. Derajat kesehatan lebih merupakan dampak dari suatu proses panjang yang dipengaruhi oleh keputusan politik. Keputusan kesehatan masyarakat diambil dari perjuangan kalangan legislative maupun pihak yang memiliki kewenangan memerintah. Contoh pada tahun 2006 di DKI Jakarta tentang larangan memelihara unggas di rumah-rumah penduduk, keputusan ini menjadikan perdebatan yang sangat sulit, yakni ada yang pro dan sebaliknya. Mengingat harus menimbang berbagai hal , baik dampak positif atau negatifnya.

Apa sebetulnya politik kesehatan itu ? Budiardjo (2007) mendefinisikan politik kesehatan adalah "..bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu..." Pada dasarnay politik itu mempelajari tentang Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan pembagian atau alokasi sumber daya manusia.
Kekuasaan adalah hal penting dalam politik. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sebuah kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompok masyarakat lain. Untuk memenangkan sebuah idea atau kebijakan diperlukan kekuasaan. Kekuasaaan politik adalah seseorang yang dapat memepengaruhi kebijakan umum. Oleh karena itu derajat kesehatan masyarakat hendaknya diperjuangkan melalui system dan mekanisme politik

Untuk melakukan pendekatan atau menggunakan saluran politik dalam memenuhi cita-cita mensehatkan masyarakat diperlukan beberapa langkah sistemik. Langkah-langkah tersebut diperlukan pedoman yang disusun berdasarkan teori dan pengalaman. Tekhnik komunikasi politik juga harus di pahami.

Dari uraian tersebut diatas bahwa kesehatan berkaitan erat dengan politik, upaya-upaya kesehatan masyarakat dapat dilakukan apabila ada dukungan politik secara kuat. Dan untuk mendapatkan dukungan politik haruslah memiliki kekuasaan, sehingga dalam tingkatan daerah seorang Kepala dinas kesehatan sangat potensial untuk memajukan daerahnya yang terkait dalam upaya kesehatan. Namun apabila kekuasaan itu lebih dominan tarikannya terhadap kepentingan politik maka upaya kesehatan menjadikan komoditas untuk merebut atau mempertahankan kekuasan, yang pada akhirnya upaya hulu (meningkatkan derajat kesehatan masyarakat) akan terabaikan. Tapi sebaliknya bila seorang Kepala dinas memiliki ketrampilan politik dan komunikasi politik, maka ia akan memiliki kekuatan dalam membanguan upaya-upaya kesehatan masyarakat, dan pada akhirnya upaya hulu dan ilir menjadi sejalan.

29 Juni 2009

Praktik Perawat di Rumah

Masih banyak di berbagai derah Perawat melakukan praktik pengobatan di rumah, hanya kini ia tidak menggunakan papan nama seperti dokter, keculai di Kuningan Jawa barat. Sebuah pekerjaan dilematis bagi perawat, sebagai tenaga kesehatan yang menjalankan tugas pengobatan di Puskesmas kadang dimintai untuk membantu masyarakat memberikan pengobatan diluar tugasnya. Kenapa sebagian masyarakat menginginkan berobat ke rumah perawat ?

Dari hasil penelitian menyetakan bahwa, alasan pasien berobat di rumah perawat : 1) pasien bisa meminta tolong perawat setiap waktu, 2) pelayanan di rumah lebih rilek dari pada di puskesmas, 3) pemeriksaan tidak tergesa-gesa, 4) tidak harus menunggu lama, 5) Perawat bisa di panggil ke rumah, 6) mutu obat lebih tinggi dari pada di Puskesmas.

Ironisnya, kedatangan pasien ke rumah perawat oleh kekurangan pelayanan publik. Kenapa juga pasien tidak puas dengan mutu pelayanan Puskesmas? penyebab utamanya adalah masalah biaya, perawat lebih fleksibel dengan tarif dan mempunyai tarif lebih murah dari pada tarif dokter, disamping itu lokasi praktik dokter lebih jauh ketimbang lokasi tinggalnya perawat. Dan biasanya yang meminta tolong perawat sebagian besar dengan ekonomi rendah, sesuai dengan sifat masarakat di daerah. Penduduk melihat bahwa perawat mempunyai pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengobatan sehingga asumsinya mengatakan bahwa perawat sebagai ahli pengobatan yang sah, ia tidak tahu tentang asuhan keperawatan.

Munculnya UU no 29, menghebohkan praktik perawat, bahkan diberbagai daerah terjadi keteganggan. Lebih ironis lagi ketika perawat tidak diperbolehkan praktik di rumah tidak di barengi dengan pengadaan kelengkapan berobat, baik itu SDM maupun sarananya. Dan akibatnya jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat berkurang, siapa yang mau membantu masyarakat terhadap pelayanan kesehatan sementara perawat tidak boleh menerima pasien/ menolong pasien di rumah? Kalaupun ke Puskesmas ada batasan waktu kerja, ke dokter selain jangkauannya cukup jauh dan tidak fleksibel tentang pembayaran jasa.

Program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin, jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan SKTM untuk pelayanan kesehatan seperti Puskesmas / rumah sakit tidak mengurangi masyarakat miskin untuk meminta pertolongan pengobatan pada perawat. Kenapa demikian ? pemerintah sudah menjamin terhadap upaya kesehatan masyarakat maskin. Beberapa pengamatan menyebutkan bahwa :1) pencapaian sasaran askeskin/ jamkesmas kurang pada sasaran, 2) mutu pelayanan askeskin/jamkesmas masih kurang dibanding pelayanan perawat, 3) kenyataannya masih membayar biaya lain, 4) belum lagi membiayayi yang mengantar atau yang menunggu pasien.

Apa yang harus di perbuat perawat ? hak paten menolong pasien di rumah, dekejer-kejer polisi, hak paten melakukan askup di rumah sakit, sibuk dengan tindakan delegas yang lemah.. Padahal perawat banyak andil dalam pembangunan kesehatan. Saya menyebutnya Perawat sebagai Pahlawan pembangunan kesehatan (kalau baca buku Rosalia S).

19 Juni 2009

Sistem Pelayanan kesehatan kabupaten Cirebon

Kabupaten Cirebon terletak di ujung timur propinsi Jawa barat dan berbatasan dengan propinsi Jawa tengah yakni Kabupaten Brebes. Perbatasan kabupaten Cirebon dengan kabupaten Brebes merupakan lintas jalan yang menghubungkan wilayah barat dengan wilayah timur pulau Jawa sehingga kabupaten Cirebon mempunyai letak yang strategis dalam sektor perdagangan. Cirebon merupakan kota hinter line yang menghubungkan dengan kabupaten lainnya sebagai wilayah tiga yakni perbatasan antara kabupaten Kuningan, kabupaten Indramayu dan kabupaten Brebes, jalur perdagangan melewati wilayah Cirebon. Gambaran ini tidak cukup untuk Masyarakat kabupaten Cirebon sebagai mata pencarian dari sektor perdagangan tetapi lebih banyak pada sektor pertanian.

Pendapatan rata-rata masyarakat dan pendapatan daerah termasuk rendah, sektor perdagangan lebih dikuasai oleh Pemerintahan kota Cirebon. Potensi luas wilayah dan beberapa industri yang ada di kabupaten Cirebon masih belum dapat mendongkrak sektor ekonomi pemerintahan maupun pendapatan Masyarakat.

Euforia politik membawa implikasi yang kurang baik di kabupaten Cirebon, pemerintah kadang lebih sibuk menyelesiakan konfik-konfik politik antar partai dibanding untuk membangun Masyarakat, demikian dengan kebebasan Perss yang dalam pemberitaan tidak berimbang antara kemajuan pembangunan yang telah dicapai dengan kritik yang diberitakan, sifat oposisi merupakan issu kesehatan yang amat penting, bahakan issu tersebut di jadikan komoditi politik.

Kalau melihat fenomena diatas sangat sulit bagi Pemerintah kab. Cirebon untuk menjalankan roda pemerintahannya dengan baik, harus ada kompromi-kompromi politik yang di kembangkan baik melalui legislatif maupun stakeholder yang ada di kabupaten Cirebon. Sementara ini pengembangan pelayanan kesehatan lebih ditekanankan pada pendekatan pelayanan Rumah Sakit. Rumah sakit pemerintah yang dimiliki oleh kabupaten Cirebon ada 2 Rumah sakit Daerah dan 1 Rumah sakit Pusat Paru dan 4 Rumah sakit swasta. yakni satu di ujung timur, satu di ujung barat dan satu di ujung selatan kabupaten Cirebon. Mutu Pelayanan kesehatan yang diberikan masih kurang dan sering terjadi konflik internal Rumah sakit. Kesukaran pengaturan dokter, sehingga kebanyakan doker spesialis di kabupaten lebih banyak waktunya untuk praktek swasta baik itu membuka Rumah sakit sendiri atau ke Rumah sakit swasta yang ada di kota Cirebon, akibatnya Masyarakat tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Dan sebagian masyarakat yang mampu mencari pelayanan kesehatan ke Kota Cirebon. Sedangkan Pelayanan Puskesmas di delegasikan kepada Perawat dalam menjalankan tugas pengobatan.

Pelayanan kesehatan yang diberikan harus berpihak kepada public, dengan mengedepankan pendekatan public administratif. Keberpihakan kepada masyarakat akan memberi pelayanan yang efesien, adil dan merata maupun tepat guna.
Hal penting dalam konsep good governance yaitu partisipasi masyarakat, transparansi, akuntabilitas dan mengutamakan aturan hukum. Dimana peran pemerintah dalam pelayanan sector kesehatan adalah Regulasi, pemberian biaya dan pelaksanaan kegiatan.

Pemberdayaan masyarakat akan pelayanan kesehatan harus disadarkan bahwa pelayanan kesehatan bukan public good sejati, dimana situasi perekonomian kabupaten Cirebon digolongkan rendah dan tidak mampu menanggung kesehatan masyarakat secara keseluruan. Upaya partisipasi masyarakat akan pelayanan kesehatan dengan menjamin kesehatan melalui asuransi kesehatan secara wajib pada golongan I sampai golongan IV dan memberi subsidi kepada rakyat yang tidak mampu. Perhitungan jaminan kesehatan tidaklah sama rata seperti pada Askes, tetapi harus di upayakan beban pembayaran secara adil sesuai dengan pendapatan secara keseluruhan dengan prinsip equity egaliter atau persamaan hak. Masyarakat yang kaya akan memberi subsidi masyarakat yang miskin. Demikian pula pemerintah menyisihkan sebagian pendapatan daerahnya untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin.

Guna meningkatkan persaingan Rumah sakit pemerintah dengan swasta dan meningkatkan mutu pelayanan maka dilakukan perubahan bentuk Rumah sakit menjadi bentuk persero ataupun PT, sehingga berbentuk pelayanan usaha (profit oriented).

Sebetulnya mengedepankan bentuk public administration ini kurang tepat dalam penjelasan diatas, karena ketiga bentuk ini tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling terkait. Untuk itu harus dilihat framework dari ketiga bentuk tersebut untuk mencari benang merahnya. Keberpihakan kepada Public akan mendorong kepercayaan public sebagai bentuk kekuatan politik public, dan pengembangan bentuk Rumah Sakit mendorong pada bentuk Medical approuch.

Lalu apa keuntungan dari bentuk diatas dan apa kerugiannya ?
Walaupun keberpihakan kepada Masyarakat, tapi sistem tersebut masih saja kemungkinan kelemahannya, antara lain :

  1. Bila pihak ke tiga /asuransi tidak menjalankan fungsinya dengan baik maka konflik masyarakat akan pelayanan kesehatan dijadikan sebagai issu politik
  2. Kultur Masyarakat lebih memilih layanan kesehatan ke Kota karena budayanya masyarkat yang berobat tidak hanya sekedar berobat tetapi ada keperluan lainnya sehingga dokter akan mencari tempat-tempat yang lebih dekat dengan kota
  3. Jika pemerintah tidak mampu memberdayakan sektor swasta maka pemerintah akan mengalami devisit anggaran dan tidak mampu membiayai masyarakat miskin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Sedang keuntungan yang diperoleh dari sistem tersebut, antara lain :

  1. Beban pemerintah untuk pemeliharaan Rumah Sakit menjadi berkurang
  2. Persaingan pelayanan kesehatan berimplikasi pada peningkatan mutu layanan kepeda seluruh lapisan masyarakat
  3. Masyarakat lebih sadar bahwa pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama

16 Juni 2009

RUU Keperawatan

Keadilan tidak kunjung datang, kepedulian terhadap rakyat bawah semakin menjauh, tuntutan profesional semakin kabur. Komentar itu sebuah kekecewaan terhadap prioritas RUUK yang menjauh dari nomor Prolegnas ke 26. Kini Masyarakat Perawat mengecam anggota Dewan di Senayan, menuntut kepedulian terhadap perlindungan konsumen pengguna pelayanan keperawatan, dan profesi keperawatan, kapankan RUUK menjadi UUK yang disahkan, tahun ini, nanti atau tidak sama sekali.

RUUK merupakan payung hukum yang menjanjikan bagi masyarakat dan profesi keperawatan, dibanding Kepmenkes 1239. RUUK merupakan kebangkitan profesi perawat yang sudah dibangun lebih dari dua dekade, mestinya dari faktor usia profesi perawat harus sudah dapat berdiri sendiri, tidak berada dibayang-bayang. Jadi Keputusan RUUK merupakan harga mati buat profesi perawat.

Perawat harus lebih menunjukan eksistensinya sebagai profesi yang mempunyai kewenangan mandiri, perawat harus lebih berani dalam bertindak sesuai dengan disiplin ilmunya, mengutamakan pelayanan independensi tanpa mengabaikan interdependensi. Persaingan pelayanan kesehatan akan fair untuk mengambil simpati masyarakat ketika perawat diberi kesempatan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, tentu saja konsekwenainya ada tanggung gugat.

PPNI merupakan wadah profesi yang diberi kepercayan untuk mengawal RUUK, kini semakin giat dan gencar dalam menekan aspirasi profesi. Wilayah politik menjadi keharusan yang mesti diupayakan, tanpa mengabayakan perhatian pelayanan kepada masyarakat. Wilayah politik sebuah pilihan yang ditempuh, tapi tanpa mendukung sebuah partai politik atau calon persiden dalam pemilu kedepan. Wilayah politik sebagai alat untuk menyalurkana aspirasi profesi dalam melindungi Masyarakat yang merata dan berkeadilan.

Pelayanan kesehatan kita bukan sebagai alat politik, pelayanan kesehatan sebagai bentuk keadilan sosial bagi masyarakat, pelayanan kesehatan jangan dijadikan komoditas politik, lebih-lebih menjadikan korporasi untuk mendapatkan keuntungan material. Pelayanan kesehatan merupakan pengabdian guna menuju Indonesia sehat, sehat yang berkeadilan. Pelayanan kesehatan harus diberikan kepada semua orang, semua lapisan, semua golongan. Pemerintah mempunyai kewenangan dan kekuatan untuk mengatur agar pelayanan secara merata dan adil.
Kasus Prita vs RS omni adalah bentuk ketidak adilan, merupakan satu dari beribu atau berjuta-juta kasus ketidak adilan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelajaran kasus tersebut harus di jadikan warrning bagi rumah sakit/pelayanan kesehatan yang ada di seluruh Indonesia khususnya di daerah-daerah, dan lebih khusus di peloksok peloksosk yang termarjinalkan dalam hak kesehatannya.

RUUK mestinya dapat menjawab persoalan bangsa ini akan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, harus dikedepankan perlindungan masyarakat secara luas. Kalau RUUK hanya mengantarkan status profesi saja, sangatlah ironis disaat bangsa ini sedang menjadi perhatian akan upaya pelayanan kesehatan. Pakar Perawatan dan Pejabat PPNI mempunyai tanggung jawab apabila RUUK di UU ternyata pelayanan kesehatan bertambah suram, mengngat sebagian besar tenaga kesehatan adalah perawat dan mengingat pelayanan garis terdepan adalah Perawat, dan mengingat dalam sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia adalah Perawat.

4 Juni 2009

Prita

Kasus Prita memenuhi seluruh media elektronik dalam minggu-minggu ini, begitu juga dengan e-mail. Seakan menunjukan kepada dunia bahwa pelayanan kesehatan tidak mau di kritik, bahwa yang berhak mendapatkan keadilan adalah orang-orang yang berduit, dan seakan konsumen tidak wajib mendapatkan hak-nya. Kenapa ini terjadi, disaat kampanye persiden. Tentu saja kasus tersebut menjadikan komoditas politik, rasa simpati, perhatian di tujukan oleh calon Persiden, yang mungkin kalau bukan masa kampanye kasus tersebut hilang dari perhatian para petinggi Negeri ini.
Tapi dibalik kejadian ini, tentu hikma yang sangat besar, semua orang akan melihat bagaimana bentuk pelayanan kesehatan, semua orang akan melihat bentuk keadilan di negeri ini. Mudah-mudahan tidak mengurangi kampanye besar petinggi negeri untuk menegakan keadilan, mudah-mudahan juga tidak mengurangi Depkes mengkampanyekan pelayanan kesehatan, dan mudah-mudahan pelayanan Kesehatan menjadikan perhatian bagi calon Pemimpin dan tidak hanya sekedar dijadikan komoditas Politik saja.
Siapa yang nantinya jadi pemenang dalam kasus ini ? Jawabannya tidaklah begitu penting bagi Masyarakat. Yang amat penting disini, adakah keadilan di Negeri Kita ini. Adakah perlindungan bagi konsumen, dan tidak sekedar selogan saja "Patien sefty". Dan lebih penting lagi dalam upaya kesehatan Masyarakat tidak takut dengan pelayanan Rumah sakit, tidak takut ke tenaga kesehatan dan lebih memilih kepada pelayanan alternatif seperti hebohnya kasus Ponari.
Dan tidak penting juga siapa yang menjadi Persiden. Yang penting adalah bagaimana mewujudkan keadilan di negeri ini, bagaimana mewujudkan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan Masyarakat.
Yang jelas pasti kalah adalah Masyarakat rendah